Minggu, 02 Oktober 2011

Alasan Pembenaran Pengambilan Riba


Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antaranya karena alasan berikut.1
        1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. 
    2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak         mendzalimi,     diperkenankan. 
3. Bank, sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori miukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.2

1.       Darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Alah dan Rasul-Nya), bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
·  Imam Suyuti3 dalam bukunya, al-Asybah wan Nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang  tidak segera melakukan tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
·     Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan.

“ ...Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang dia(1) tidak menginginkan dan (2) tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fqhiyah seputar kadar darurat.4

Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah,
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampaui batas hinga tujuh suap atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

2.       Berlipat Ganda
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan membertkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.5 pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surah Ali-Imran ayat 130,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”

Sepintas, surat Ali Imran:130 memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
·   Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
·   Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqh Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik() arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan() adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian () berarti 3x2=6 kali. Adapun () dalam ayat adalah ta’kid () untuk penguatan.

Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.

1.    Menanggapi pembahasan surah Ali-Imran ayat 130 ini, Syekh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, penulis buku ar-riba wal Muamalat al-Mashrafiyyah fi Nadzari ash-Shariah al-Islamiah, menegaskan,
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surah Ali-Imran, termassuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan belipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini(berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya).”

2.   Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Fathwiir al-A’maali al-Masyrifiyyah bimaa Yattafiqu wasy-Syarii’ah al-Islamiyah hlm. 139-138, 6 menjelaskan bahwa bangsa Arab disamping melakukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bin labun). Kalau meminjamkan bin labun, meminta kembalian haqqah(berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah( berumur 5 tahun). 

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali-Imran:130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu, maupun sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.

Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik-jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak sendirian, bergerombol; jika tidak di dalam, di luar dan sebagainya-kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah SWT.

Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah.
Dan, janganlah, kalian mendekati zina’ sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. “(al-Isra’: 32)
 “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi,(daging hewan) yang disembelih) atas nama selain Allah...”(al-Maaidah: 3)

Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.

Janganlah memakan dagimng babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak dan kulit babi halal?

Pemahaman pesan-pesa Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badi’ dan ma’ani.

3.      Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 surah ali-Imran diturunkan pada tahun ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar. Dan jenis riba. 7

3.    Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank  atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu.8 Dengan demikian, BCA, Bank Danamon, atau bank Lippo tidak terkena hukum taklif karena pada saat nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.
a.  Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
b.   Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syahsyiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah mewakili individu-individu secara keseluruhan.

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente m,eliputi provinsi, negara bahkan global.

(bismillah)(kiri)
(bismillah)(kanan)

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut