Dari Era Rasional ke Emosional ke Spiritual
Banyak orang mengatakan, pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market). Maksudnya, orang tertarik untuk berbisnis pada pasar syariah karena alasan-alasan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) yang bersifat emosional, bukan karena ingin mendapatkan keuntungan finansial yang bersifat rasional. Sebaliknya, pasar konvensional atau non syariah, orang ingin mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya, tanpa terlalu peduli apakah bisnis yang digelutinya tersebut mungkin menyimpang atau malah bertentangan dengan ajaran agama Islam. Benarkah demikian?
Suatu ketika, saya berdiskusi ringan dengan seorang kiai yang juga pakar ekonomi syariah dan anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari beberapa bank dan asuransi syariah, K.H. Dr. Didin Hafidhuddin. Saya bilang, “Pak Kiai, apakah benar ada dikotomi antara pasar emosional dan pasar rasional? Dan apakah pasar syariah itu pada awalnya hanyalah pasar emosional, kemudian bergeser ke pasar rasional?” Jawaban beliau terus terang tidak saya duga, “Kata siapa orang yang ada di pasar emosional tidak rasional? Justru orang-orang yang ada di pasar emosional sebenarnya sangat rasional dalam menentukan pilihan.”
Beliau mengatakan, orang yang berada dalam kategori pasar emosional biasanya lebih kritis, lebih teliti, dan sangat cermat dalam membandingkan dengan bank atau asuransi konvensional yang selama ini digunakannya, sebelum menentukan pilihan ke pasar syariah. Sambil bercanda beliau menambahkan, “Hitung-hitungan orang seperti ini malah bisa sampai ke hitung-hitungan amal ke akhirat.”
Pernyataan ini ada benarnya. Coba kita tengok pendapat seorang praktisi perbankan syariah dikotomi pasar emosional dan pasar rasional, Budi Wisakseno. Beliau yang merupakan mantan Direksi Bank Muamalat indonesia dan saat buku ini ditulis menjabat sebagai Direktur Utama Bank Syariah Mega Indonesia, mengatakan bahwa pemahaman dikotomi antara nasabah rasional dan nasabah emosional adalah keliru. Cara berfikir seperti itu, katanya, dilandasi oleh teori pemasaran konvensional yang berpaham sekuler; segala hal yang berlandaskan cara berfikir keagamaan serta-merta akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional.
Ketika seorang nasabah rasional mendapatkan informasi bahwa suku bunga perbankan (konvensional) sedang tinggi, ia menarik dananya di bank syariah dan memindahkannya ke bank konvensional. Teori pemesaran konvensional mengatakan ini adalah sikap yang rasional karena dia mencoba menghindar dari situasi yang kurang menguntungkan. Namun, sebenarnya ini juga bisa dikatakan cara berfikir emosional, karena hanya mempertimbangkan keuntungan dunia, tetapi mengabaikan keuntungan akhirat.
Sebaliknya, seorang nasabah yang-menurut sebagian pihak-emosional karena mengedepankan nilai-nilai ajaran agamanya (Islam) dalam setiap pengambilan keputusan investasi, sebenarnya mempunyai dua perspektif waktu. Pertama, perspektif waktu sekarang, yaitu ketika ia masih hidup di dunia. Kedua, perspektif waktu setelah mati, yaitu periode sejak nasabah meninggal atau kehidupan alam kubur sampai dengan waktu saat manusia akan dihitung amal baik dan buruknya selama hidup di dunia (dihisab).
Adanya perspektif waktu setelah mati pada nasabah Muslim ini dapat menjelaskan mengapa seorang nasabah bank syariah bahka bisa menerima keuntungan yang nilainya lebih kecil sepanjang hal itu halal.
Memang, praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional), ke emosional, dan akhirnya ke spiritual. Pada akhiirnya, konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Di level intelektual, pemasaran memang menjadi seperti “robot” dengan mengandalkan kekuatan logika dan konsep-konsep keilmuan.
Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding, dan sebagainya. Kemudian, di level emosional, kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Di sini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Jika di level intelektual otakl kiri si pemasar paling berperan, di level emosional otak kananlah yang lebih dominan. Jika di level intelektual pemasaran layaknya “robot”, di level emosional pemasaran menjadi seperti “manusia” yang berperasaan empatik. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara lain experiental marketing dan emotional branding.
Namun, di masa kini dan di masa datang, apalagi setelah pecahnya skandal keuangan di Amerika Serikat dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa, seperti enron, WordCom, atau Global Crossing, era pemasaran telah bergeser lagi ke arah spiritual marketing.
Di level spiritual ini, pemasaran sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa” (“calling”). Di sini praktik pemasaran dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki dan dijalankan dengan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama manjadi dominan.
Jika di level intelektual bahasa yang digunakan adalah “bahasa logika” dan di level emosional adalah “bahasa rasa”, maka di level spiritual digunakan “bahasa hati”. Kata hati nurani adalah lentera penerang yang akan menunjukkan ke mana arah yang akan dituju. Nurani adalah “senjata pamungkas” Anda untuk memenangkan persaingan.
Kasus runtuhnya sejumlah perusahaan di atas menunjukkan bahwa sehebat apapun strategi bisnis Anda, secanggih apa pun tools pemasaran yang Anda jalankan, semuanya tak akan ada gunanya kalau tidak dilandasi nilai-nilai spiritual yang kokoh. Kasus manipulasi akuntansi terbesar dalam kegiatan dalam sejarah bisnis Amerika Serikat tersebut menunjukan betapa semakin tingginya kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen, dan semakin majunya perangkat regulasi ternyata tidak menjadikan praktik bisnis menjadi semakin dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan tanpa etika, tanpa nilai-nilai moral, dan tanpa pegangan.
Bumi sudah menjadi renta, carut-marut, dan dan amburadul akibat ulah manusia. Namun, manusia-manusia itu sendiri agaknya masih saja sama, masih enggan bertobat dan kurang menyesali kesalahannya, kata Andrias Harefa dalam buku Kepemimpinan Kristiani.2
Praktik bisnis sakit yang selama puluhan tahun melingkupi keseharian kita semakin menyadarkan kita bahwa kejujuran, etika, dan moral dalam suatu bisnis menjadi suatu keharusan. Pada lingkungan bisnis yang tidak jarang mengabaikan etika, kejujuran merupakan resource yang semakin langka bagi perusahaan. Dan tak hanya langka, ia merupakan resource yang bisa di-leverage menjadi komponen penting daya saing suatu perusahaan. Dari sinilah, kemudian muncul paradigma baru dalam pemasaran, yan dilandasi oleh kebutuhan yang paling dasar, yaitu kejujuran, moral, dan etika dalam bisnis. Inilah spiritual marketing.
Spiritual marketing merupakan tingkatan tertinggi. Orang tidak semata-mata menghitung lagi untung atau rugi, tidak terpengaruh lagi dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Panggilan jiwalah yang mendorongnya, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai spiritual. Spiritual dalam pengertian Kristiani, mungkin seperti yang dikatakan Robelt L. Wise dalam bukunya, Spiritual Abundance3, ..sesuatu yang tidak bisa saya lihat dengan mata saya, dan hanya bisa saya rasakan dalam hati saya, atau sesuatu yang seperti itu.”
Dalam bahasa syariah, spiritual marketing adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena di dalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah (bisnis syariah), ia mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi dalam pemasaran atau muamalah. Hal ini adalah refleksi dari ikrar seorang Muslim ketika ia beribadah, “Qul inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin” (Ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata.”4
Seorang muslim yang baik, dalam transaksi muamalahnya-dalam hal ini pemasaran baik sebagai pemimpin perusahaan, pemilik, pemasar, pesaing, maupun sebagai pelanggan-hendaklah prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, etika, dan moralitas menjadi nafas dalam setiap bentuk transaksi bisnisnya. Karena itu, bagi seorang Muslim, setiap hari jumat di masjid, ia selalu diingatkan khatib dalam penutupan khutbahnya, agar senantiasa berbuat adil ketika melakukan transaksi bisnis, senantiasa jujur, dan berbuat baik kepada siapa saja, keluarga maupun orang lain, menghindari perbuatan-perbuatan tercela, apalagi permusuhan, baik dalam pergaulan bisnis maupun bermasyarakat secara umum.
Ayat yang tak luput dibacakan dibacakan oleh khatib tersebut adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan kepada kaum karabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl [16]: 90).
Selain itu, dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insyaAllah menjadi ibadah di hadapan Allah swt. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi. Seperti kata Al-Quran, “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”
Sumber: Syariah Marketing, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula