A.
PENGANTAR
Sebelum kita mempelajari arah SKI
lebih lanjut, baiklah kita mengetahui dahulu keadaan Dunia Arab mulai dari
keadaan goegrafisnya, keagamaan, social kemasyarakartan, politik, ekonomi dan
kulturalnya sebelum Islam. Sebetulnya, sebelum agama Islam turun di sana, sejarah negeri itu
tidak dikenal sama sekali. Untung agama Islam turun dilengkapi dengan
al-Qur’an, yang di antara isinya menceriterakan keadaan umat sebelumnya. Di
antara faktor-faktor yang menyebabkan tidak dikenalnya sejarah negeri tersebut
ialah:
1.
Tidak
adanya kesatuan politik, karena mayoritas di antara penduduknya terdiri dari
bangsa Badui yang senang mengembara keluar. Di samping juga karena mereka
senang bermusuhan antara suku, serta tidak adanya solidaritas dan tidak adanya
pemerintahan yang kuat.
2.
Mayoritas
di antara mereka tidak mengerti hal tulis menulis, karena mereka masih dalam
keadaan bodoh. Oleh karena itu, mereka tidak pernah mencatat segala sesuatu
yang pernah terjadi. Adapun sebelum itu, pusat pemberitaannya diambil dari
ceritera dari mulut ke mulut.
Selanjutnya untuk mempermudah uraian
ini, maka uaraian pembahasan diurutkan sebagai berikut.
B. NAMA
ARAB
Arti dari kata Arab, sampai saat
sekarang ini masih kabur, walaupun para ahli filologi telah berusaha untuk
memberikan arti kata tersebut. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa kata
Arab berasal dari:
1.
Bahasa
Semit yang berarti Barat; nama Arab ini dikenakan bagi semua orang yang
berdiam di sebelah barat lembah Furat. Namun, penjelasan ini tidak beralasan.
2.
Muhammad
Hasyim ‘Athiya menyatakan, bahwa kata Arab itu mempunyai arti yang sama dengan
kata ‘Arabha dari bahasa Ibrani yang berarti tanah gelap atau steppe.
Kata ini seasal dengan kata Abhar yang berarti rahlah yang
berarti pengembara. Dikatakan demikian, karena mayoritas dari bangsa
Arab senang mengembara; senang berpindah dari satu tempat ke tempat lain
(nomaden). Karena mempunyai watak demikian, maka disebut dengan bangsa Arab.
3.
Theodore
Noeldeke – seorang orientalis bangsa Jerman – mengatakan, bahwa kata Arab
atau Arabia itu berarti gurun pasir.
Dikatakan demikian, karena tanah semenanjung itu sebahagian besar itu tanahnya
terdiri dari gurun pasir. Dengan demikian, semenanjung tersebut disebut Arab.
Kiranya pendapat pada butir 2 dan 3
dapat dipadukan, sehingga pengertiannya menjadi rumusan/batasan yang memberi
pengertian bahwa Arab adalah semenanjung yang sebahagian tanahnya
terdiri dari gurun yang kehidupan bangsanya senang hidup mengembara (nomaden).
C.
TINJAUAN
GEOGRAFIS
Negeri Arab atau biasa juga dikenal
dengan Jaziratul Arab/Semenanjung Arab, adalah satu semenanjung yang terbesar
di dunia ini.
Adapun luasnya kira-kira 1000 x 1000
x 1 km2 (sepertiga luas Eropa). Sedangkan letaknya di sebelah barat
daya Benua Asia. Jadi jelasnya, semenanjung itu dibatasi oleh 3 (tiga) perairan
dan 2 (dua) gurun pasir, yang meliputi:
1.
Sebelah
Utara dibatasi oleh Gurun Irak dan Gurun Syam;
2.
Sebelah
Selatan dibatasi oleh Samudera Hindi;
3.
Sebelah
Barat dibatasi oleh Laut Merah; dan
4.
Sebelah
Timur dibatasi oleh Teluk Persi.
Noeldeke menyebut negeri itu dengan Sahara atau padang
pasir; sebab negerinya diliputi oleh sahara (gurun). Menurutnya, kata
Arab sudah tercantum dalam kitab-kitab Yunani.
Meskipun negeri itu dikatakan sahara,
namun bukanlah berarti bahwa semua negerinya terdiri dari sahara. Bahkan
kalau dilihat, saharanya hanya terletak di tengah-tengah Jazirah saja,
yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Adapun sahara yang terkenal
ialah:
1.
Sahara Langit (Nufud);
2.
Sahara Selatan;
3.
Sahara Heart (Batu Hitam).
Kebanyakan para ahli dalam membagi
wilayah tersebut berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan negeri itu dibagi menjadi dua, tiga, bahkan ada yang membaginya
menjadi lima
bahagian, bahkan ada yang membaginya sembilan bahagian. Adapun yang membaginya
menjadi dua bahagian mengatakan, bahwa Jazirah Arab itu terbagi atas bahagian
tengah dan tepi. Bahagian tengah terdiri dari tanah pegunungan yang
jarang mendapatkan air hujan. Penduduknya sedikit sekali; terdiri dari kaum
pengembara yang hidupnya selalu berpindah-pindah tempat menuruti turunnya hujan
dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput sebagai tempat menggembala
ternak mereka. Bahagian tengah ini, terbagi juga menjadi dua bahagian; bahagian
utara disebut Nejed dan bahagian selatan disebut al-Ahqaf.
Bahagian selatan ini penduduknya amat sedikit, oleh karenanya bahagian itu
dikenal dengan nama ar-Rub’ul-Khali. Selanjutnya bahagian tepi,
merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah itu. Pada pertemuan Laut
Merah dan Laut India,
pita itu agak lebar. Jazirah Arab bahagian tepi ini, hujan turun dengan
teratur. Oleh karena itu, penduduknya hidupnya tidak mengembara, melainkan
menetap di tempat tinggalnya. Mereka mendirikan kota-kota dan
kerajaan-kerajaan, dan sempat pula membina berbagai ragam kebudayaan, sehingga
mereka disebut Ahlul-Hadlarah. Pada bahagian tepi itu terdapat kota-kota
dan kerajaan-kerajaan, seperti: al-Ahsha (Bahrain), Oman, Mahrah,
Hadlramaut, Yaman dan Hijaz. Bahkan di bahagian tepi di sebelah utara pernah
berdiri Kerajaan Hirah dan Kerajaan Ghasasinah.
Sedangkan pembahagian yang tiga meliputi:
1.
Arabia
Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di
sebelah barat-daya lembah Syam;
2.
Arabia
Desrta, yaitu daerah Syam itu sendiri;
3.
Arabia
Felix, yaitu negeri Yaman (Bumi Hijau)
Adapun pembahagian yang lima, meliputi:
1.
Tihamah.
Secara bahasa, kata Tihamah berarti sangat
panas. Dikatakan demikian, karena udara di situ betul-betul sangat panas.
Bahkan tumbuh-tumbuhan pun tidak ada sama sekali, karena jarang turun hujan.
Adapun letaknya di sebelah barat Hijaz. Nama lain bagi Tihamah adalah Ghur
yang artinya dataran rendah/gurun.
2.
Hijaz.
Secara bahasa, Hijaz berarti penghambat/tirai.
Daerah ini semata-mata terdiri dari bukit barisan yang memanjang dari sebelah
utara Yaman sampai ke Dataran Syam. Di sini udaranya sangat panas. Jarang
sekali turun hujan, dan kalau turun hujan, maka terjadilah banjir yang airnya
begitu derasnya mengalir ke laut, karena di situ terdapat lembah-lembah yang
begitu banyak, sehingga tanahnya tandus. Kota-kotanya yang terkenal ialah: Mekah,
Yatsrib (Madinah) dan Thaif.
Dinamakan Hijaz, yang berarti
penghambat; sebab daerah tersebut menghambat tanah rendah Tihamah dengan
dataran tinggi Nejed.
3.
Nejed.
Secara bahasa, Nejed berarti tinggi.
Maksudnya, daerah ini merupakan dataran tinggi yang terletak di sebelah timur
Hijaz. Di sini, tidak ada lembah ataupun tanah subur, walaupun di balik itu,
udaranya nyaman. Pemandangannya pun indah, terutama pada musim bunga karena
daerahnya diliputi oleh rumput-rumput hijau. Begitu pula pohon-pohonnya yang
rindang serta bunga-bunganya yang beraneka ragam.
4.
Arudi.
Secara bahasa, Arudi berarti terhampar.
Maksudnya, daerah itu terhampar antara Nejed, Irak dan Yaman. Negeri-negerinya
ialah: Yamamah dan Bahrain.
5.
Yaman.
Secara bahasa, kata Yumn, yang
berarti berkat, sebab daerah ini penuh dengan berkat dari Tuhan. Wilayah ini
terletak di sebelah selatan Nejed sampai ke tepi pantai Lautan Hindi; ke timur
memanjang sampai ke Oman.
Di sini tanahnya rendah, udaranya
sedang dan banyak turun hujan. Oleh karena itu, tanahnya subur dan merupakan
pusat air, sehingga sudahlah wajar jika banyak penduduk yang bermukim di situ.
Mereka membuat rumah-rumah dari batu serta membuat bendungan-bendungan untuk
penampungan air.
Wilayah ini, oleh bangsa Rumawi
disebut dengan Arabia Felix (Tanah Arab yang mulia).
D. STRUKTUR MASYARAKATNYA
1.
PENDUDUK
Bangsa Arab yang mendiami Jazirah
Arab itu termasuk rumpun bangsa Semit (Samiyah), yang merupakan keturunan dari
Sam bin Nuh. Selain bangsa Arab, ada bangsa lain yang termasuk rumpun tersebut,
seperti: Asyuria, Babilonia, Phunisia dan Ibrani. Pada garis besarnya, secara geneologis penduduk
Jazirah Arab dapat dibagi dua, yaitu:
1.
Arab
Baidah (Arab yang telah musnah), yaitu orang-orang
Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahuinya lagi, kecuali yang tersebut
di dalam kitab-kitab suci (al-Qur’an), seperti Kaum ‘Ad dan Tsamud.
Di antara kabilah mereka yang termasyhur adalah ‘Ad, Tsamud, Thasam,
Jadis dan Jurhum.
2.
Arab
Baqiyah (Arab yang masih ada), dan mereka terbagi
menjadi dua kelompok, yang meliputi:
a.
Arab Aribah;
Mereka adalah kelompok Qahthan, dan tanah air mereka di
Yaman. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal ialah: Jurhum, Ya’rub;
dan dari Ya’rub ini keluarlah suku-suku Kahlan dan Himyar.
b.
Arab
Musta’rabah;
Mereka ini adalah kebanyakan dari penduduk Arab, dari
dusun sampai ke kota.
Mereka mendiami bahagian tengah Jazirah Arab dan negeri Hijaz sampai ke lembah
Syam. Sebab mereka dinamakan Arab
Musta’rabah, karena sewaktu Jurhum (dari suku Qahthaniyah) mendiami Mekah, dan
mereka tinggal bersama Nabi Ibrahim serta ibunya, akhirnya Nabi Ibrahim kawin
dengan wanita mereka dan kemudian Ibrahim serta putera-puteranya mempelajari
bahasa Arab. Dari merekalah kemudian
menjelma bermacam-macam kaum dan suku Arab, termasuk suku Quraisy yang tumbuh
dari induk suku Adnan. Akhirnya mereka menurunkan Nabi Muhammad s.a.w.
Selanjutnya, kita melihat pembahagian
dari segi teritorial yang juga dapat dibagi menjadi dua bahagian, yaitu:
1.
Penduduk
Kota (Ahlul-Hadlarah).
Penduduk kota ini diam dan menetap di kota-kota dengan
mata pencaharian mereka yang utama berdagang dan bercocok tanam. Kafilah
pedagang mereka menjadi penghubung bagi hasil-hasil perdagangan antara dunia
Timur dan Barat. Mereka membeli barang-barang dagangan mereka dari India dan
Tiongkok di Yaman, kemudian dijualnya ke Siria. Setibanya di Siria, mereka
membeli barang-barang dagangan dari Eropa dan terus dijual di Yaman. Sedangkan
penduduk yang bercocok tanam, mengusahakan perkebunan mereka terutama kurma.
2.
Penduduk
Pedalaman (Ahlul-Badwi).
Penduduk pedalaman ini mendiami
daerah pedalaman, dan cara hidup mereka berpindah-pindah (nomaden). Cara hidup
ini sesuai dengan keadaan alam dari Jazirah Arab, yang sebahagian besar
daerahnya terdiri dari gurun pasir dan pegunungan. Di sana-sini diselingi oleh
oase.
Oleh karena keadaan alam yang
demikian, maka satu-satunya mata pencaharian mereka adalah berternak; seperti
biri-biri, kuda dan terutama unta. Unta dan kuda memegang peranan penting dalam
kehidupan padang
pasir. Bagi kaum Badwi, unta mempunyai arti yang sangat penting, sebab binatang
tersebut dapat memberi bekal sehari-hari seperti alat pengangkutan dan alat
tukar, di samping dagingnya yang enak dimakan. Begitu juga jumlah maskawin,
besarnya denda atas pembunuhan, keuntungan main judi, kekayaan seorang penghulu
(Syaikh), semuanya diukur dengan unta. Unta adalah teman karib seorang Badwi,
karena air susunya dapat sebagai pengganti air, sebab air hanya diberikan
kepada ternak mereka. Daging unta adalah santapan lezat bagi mereka; kulitnya
dapat disulap mejadi pakaian dan perkemahan mereka; serta kotorannya dapat
dijadikan sebagai bahan bakar.
Sedangkan kuda, bagi mereka dapat
berfaedah untuk mengadakan penyerangan dengan geraknya yang begitu cepat; untuk
berolahraga dan perburuan. Serbuan dengan mengendarai kuda dapat berlangsung
secara cepat dan tiba-tiba. Kuda juga dapat memberikan keuntungan dalam
penyerangan, terutama dalam memperebutkan padang
rumput.
2. STRUKTUR
MASYARAKAT
Dalam struktur masyarakat Arab,
terdapat organisasi klan (kabilah) sebagai intinya. Sedangkan anggauta klan
mempunyai hubungan genealogis (pertalian darah).
Pada masyarakat Badwi, tiap klan
mempunyai satu perkemahan yang terdiri dari beberapa kemah. Setiap kemah
ditempati oleh satu keluarga. Tiap klan (kabilah) oleh anggauta yang tertua, yang
disebut Syaikhul-Qabilah. Ia mempunyai kekuasaan untuk memimpin dan
memberikan nasihat-nasihat. Sedangkan hal-hal yang yang bertalian dengan
peperangan, harus diputuskan bersama dalam suatu permusyawaratan dengan
anggauta-anggauta kabilah lainnya. Semua anggauta kabilah mempunyai kedudukan
yang sama. Seseorang bisa kehilangan keanggautaannya dalam suatu klan, apabila
ia melanggar disiplin, seperti membunuh salah seorang anggautanya. Dalam hal
yang demikian ia harus menerima hukuman berupa qishash (dibunuh).
Apabila si pembunuh tadi melarikan diri, maka ia kehilangan keanggautaannya.
Orang yang kehilangan klannya, harus mencari perlindungan kepada klan yang
lain. Agar dapat diterima sebagai anggauta klan, ia harus menempuh suatu
upacara tertentu dengan meminum beberapa tetes darah dari anggauta asli klan
itu. Akan tetapi, jika salah seorang anggauta klan membunuh salah seorang
anggauta yang lain, maka pembunuhan itu menjadi tanggung jawab dari seluruh
anggauta klannya. Hal ini berarti seluruh anggauta klan yang melakukan
pembunuhan itu senantiasa terancam oleh anggauta-anggauta dari klan yang
dibunuh. Mereka senantiasa berusaha untuk membalasnya.
Pada masyarakat kota pun didapati adanya kabilah-kabilah.
Setiap kabilah juga dipimpin oleh seorang Syaihkul-Qabilah. Di antara
mereka ada kabilah yang mempunyai status sosial yang tinggi. Misalnya, kabilah
Quraisy yang berada di Mekah yang dianggap sebagai kabilah yang paling tinggi
dibanding dengan kabilah yang lain. Hal itu dimungkinkan mereka secara
turun-temurun memegang kekuasaan di Mekah. Di Yatsrib juga ada seperti kabilah
Khazraj dan Aus, yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi, jika dibanding
dengan kabilah-kabilah yang lain di kota
itu.
3.
PEMERINTAHAN
Sebetulnya, masa pemerintahan bangsa
Arab sebelum Islam dimulai dari golongan Arab Baidah. Masa pemerintahan mereka
dianggap sebagai periode pertama sejarah pemerintahan bangsa Arab. Mereka telah
mendirikan kerajaan-kerajaan, seperti: Ad, Tsamud dan Ambath (Amaliqah).
Bekas-bekas peninggalan mereka sulit ditemukan.
Ada dugaan, bahwa
Ad mendirikan pusat pemerintahannya di sekitar daerah al-Ahqfur-Raml, yang
terletak kira-kira antara Yaman dan Oman. Kerajaan ini pernah meluaskan
kekuasaannya ke Irak, Siria dan India;
di samping juga pernah mendirikan kerajaan di Juhfah yang terletak di antara
Mekah dan Yatsrib. Adapun Tsamud
mendiami daerah Hijer dan Wadil-Qura, di sekitar Hijaz dan Siria. Mereka
membuat rumah-rumah mereka di atas bukit batu yang dipahat seindah mungkin. Sedangkan Amaliqah, mendirikan kerajaannya di
Arab Timur, Oman dan Hijaz. Keturunan mereka
tersebar sampai ke Mesir dan Siria. Raja-raja di daerah tersebut termasuk
keturunan Amaliqah.
Pemerintahan periode kedua adalah
pemerintahan Arab Aribahrab Muta’rribah, yang sering disebut juga dengan
Qahtaniyab. Mereka mendirikan kerajaan mereka di Yaman.
Pada periode ini ada tiga kerajaan
besar yang berkedudukan di Yaman, yaitu Ma’iniyah, Saba’iyah dan Himyariyah.
Untuk jelasnya, maka hal itu akan diuraikan sebagai
berikut.
1.
Kerajaan
Ma’iniyah.
Nama kerajaan ini dihubungkan dengan Mina, suatu
tempat di dekat kota
Mekah. Raja pertamanya ialah Abu Yada. Pada masa jayanya, kerajaan ini
berhasil meluaskan daerah kekuasannya sampai ke tepi Laut Tengah, Teluk Persi
dan Samudera India.
Pada masa ini pula, dunia perdagangan mengalami kemajuan yang pesat. Rute
perdagangan melalui Arab Tengah sampai ke dataran tinggi Hijaz.
2.
Kerajaan
Saba’iyah.
Kerajaan ini membawa kemajuan bagi daerah Yaman. Ibu kota kerajaannya ialah Ma’rib,
yang terletak kira-kira 3900 kaki di atas permukaan laut. Tidak jauh dari kota ini didirikan
bendungan yang dikenal dengan Bendungan Ma’rib (Saddul-Ma’rib). Para sarjana yang menyelidiki teknik bendungan ini
mengakui ketinggian mutu dan nilai arsitekturnya. Bendungan ini berfungsi
sebagai penampung air yang pada musim kemarau, air itu didistribusikan ke
daerah pertanian. Bendungan yang dibangun pada abad kedua Sebelum Masehi ini,
membawa kemakmuran bagi daerah Yaman. Rusaknya bendungan ini mengakibatkan
malapetaka bagi daerah ini.
3.
Kerajaan
Himyariyah.
Pada hakikatnya, kerajaan ini merupakan penerus dari
kerajaan Saba’iyah. Para penguasanya lebih
mementingkan peperangan dan perluasan wilayah daripada membangun ekonomi. Oleh
karena itu, mereka selalu melakukan penaklukan ke daerah Persi, Habsyi
(Ethiopia)
dan daerah-daerah lainnya. Salah seorang rajanya yang termasyhur adalah Syammar
Yar Usy, yang berhasil menaklukkan Samarkand.
Raja terakhirnya bernama Dzu Jadan al-Himyari, yang pada masa
kekuasaannya Agama Nasrani dan Agama Yahudi mengalami perkembangan. Ia
dikalahkan oleh Aryath, salah seorang Panglima Najasyi dari Habsyi, dan
mulai saat itulah Yaman menjadi daerah kekuasaan Habsyi.
Selanjutnya, masuklah masa
pemerintahan periode ketiga. Pada masa ini merupakan masa bagi golongan Arab
Musta’rabah. Pusat kekuasaannya di Mekah dan Yatsrib. Pada
periode ini, di bahagian utara Jazirah Arab berdiri dua kerajaan, yaitu Ghasasinah
dan Hirah. Kedua kerajaan tersebut didirikan oleh bangsa Arab yang
berasal dari Yaman, dari golongan Arab Aribah. Mereka bermukim di
bahagian utara Jazirah Arab, sewaktu daerah tersebut dikuasai oleh Kerajaan
Himyariyah.
Untuk jelasnya, maka kedua kerajaan
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Kerajaan
Ghasasinah.
Kerajaan ini didirikan oleh seorang
keturunan Qahthan yang bernama Amar Muzigiyah bin Amar Mausama’, yang
berpindah dari Yaman pada akhir abad ketiga Masehi (sesudah runtuhnya Bendungan
Ma’rib).
Pada waktu itu, Arab Utara sedang
dikuasai oleh Kerajaan Salih, yang berhasil mereka kalahkan. Pada
perkembangan selanjutnya, kerajaan ini dipengaruhi oleh Bizantium. Bahkan
dijadikan sebagai Buffer State (semacam negara kecil yang terletak di
antara dua negara besar yang bermusuhan, dan menjadi perisai bagi salah
satunya) untuk menghadapi Persi.
Untuk mempererat hubungan antara
Ghasasinah dengan Bizantium, dimasukkanlah Agama Kristen ke dalam Kerajaan
Ghasasinah. Kerajaan ini mencapai puncaknya pada abad keenam Masehi. Pada masa
itu, kerajaan ini diperintah oleh Harits bin Jabalah (529 M. – 569 M.).
Raja ini bermusuhan dengan tetangganya, yaitu kerajaan Hirah. Pada kesempatan
ini, Harits memperoleh kemenangan, sehingga Kaisar Yustianus mengangkatnya
sebagai raja untuk seluruh Jazirah Arab.
Sesudah Harits, Kerajaan Ghasasinah
mengalami kemunduran, akibat perpecahan yang terjadi di dalam negeri. Raja yang
terakhir dari kerajaan ini adalah Jabal bin Aiham, yang pada tahun 636
M., mengerahkan pasukannya untuk menghadang tentara Muslim dalam pertempuran
Yarmuk. Akan tetapi dia dapat ditawan, dan memeluk agama Islam. Namun, tidak lama
kemudian dia murtad lagi, bahkan melarikan diri ke Konstantinopel.
2.
Kerajaan
Hirah.
Seperti halnya Kerajaan Ghasasinah,
kerajaan ini pun didirikan oleh orang-orang Arab dari Yaman, keturunan
Manadzirah. Oleh karena itu, kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan
Manadzirah.
Kerajaan ini didirikan pada abad
ketiga Masehi, dan bertahan sampai dengan datangnya Agama Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai pendiri kerajaan Hirah ini. Di
antaranya, ada yang mengatakan bahwa pendirinya adalah Jazimah al-Ibrasyi;
sementara yang lain mengatakan Amar bin Hadi bin Nasher, kemenakan
Jazimah.
Kerajaan Hirah ini merupakan Buffer
State bagi Persi untuk menghadapi Rumawi Timur (Bizantium). Menurut
catatan, ada 25 orang raja yang memerintah; yang termasyhur di antaranya ialah;
Amer bin Adi, Nu’man bin Umru’ul-Qais, al-Mundzir dan Nu’man
III (580 M. – 602 M.) sebagai raja terakhir dari keturunan Lahim yang
berkuasa selama itu.
Selanjutnya, kekuasaan dipegang oleh
keturunan at-Taim dengan Iyas (602 M. – 611 M.) sebagai raja
satu-satunya dari keturunan ini. Sesudah itu, urusan pemerintahan dicampuri
oleh pemerintah Persi, bahkan sempat menempatkan seorang bangsa Persi sebagai
penguasa di sana.
Dengan demikian, kekuasaan beralih dari bangsa Arab ke tangan bangsa Persi,
yang selanjutnya terjadi perampasan tanah milik orang Arab.
Selain kedua pemerintahan tersebut di
atas, di Hijaz terdapat pula pemerintahan yang sudah teratur; yaitu di kota Mekah dan Yatsrib.
Letak kota Mekah sangat strategis, karena adanya
suatu lembah yang dikelilingi oleh pegunungan as-Sarah, yang juga berfungsi
sebagai benteng alam baginya. Jalan keluar masuk dari dan ke Mekah melalui tiga
pintu utama. Ketiga pintu itu ialah:
1.
Pintu
sebelah selatan menuju Yaman;
2.
Pintu
sebelah barat menuju Laut Merah;
3.
Pintu
sebelah utara menuju Yatsrib, Palestina dan Siria.
Kota Mekah ini dibangun oleh Nabi
Ibrahim a.s., ketika beliau hijrah bersama istrinya (Siti Hajar) dan anaknya
(Isma’il) dari Mesir. Sebelum Nabi Ibrahim mendiami Mekah, kota tersebut didiami oleh keluarga Amaliqah,
kemudian oleh keluarga Jurhum yang berasal dari Yaman. Ketika itulah datang
Nabi Ibrahim bersama keluarganya.
Setelah Nabi Ibrahim, pemerintahan di
Mekah dipegang oleh keturunan Isma’il, yang telah kawin dengan putri keluarga
Jurhum. Selanjutnya, kekuasaan kota
Mekah dipegang oleh Bani Khuza’ah, yang memerintah sampai dengan pertengahan
abad kelima Masehi. Kemudian Kaum Quraisy keturunan Isma’il kembali mengambil
alih kekuasaan itu pada tahun 440 M., dari tangan Bani Khuza’ah. Akhirnya kaum
Quraisy menetapkan Qushai bin Kilab sebagai pemimpin dan penguasa kota Mekah.
Pada masa pemerintahannya, Qushai
membentuk suatu dewan pemerintahan yang berfungsi untuk melayani kepentingan
pemerintahan dan rakyat. Dewan itu terdiri dari:
1.
Al-Liwa, yaitu petugas yang membawa panji-panji dalam peperangan;
2.
Al-Hijabah, yaitu petugas yang memegang kunci Ka’bah, dan melayani segala
urusan yang bertalian dengannya;
3.
Ar-Rifadah, yaitu petugas yang mengurusi makanan bagi jama’ah haji;
4.
As-Siqayah, yaitu petugas yang melayani minuman bagi jama’ah haji.
Sedangkan kota Yatsrib – yang setelah Nabi Muhammad
hijrah ke sana
berganti namanya menjadi Madinah – adalah kota
penting kedua sesudah Mekah dan Hijaz.
Tentang siapa pendirinya, tidak
diketahui dengan jelas. Akan tetapi, menurut dugaan, mula-mula kota ini didiami oleh keluarga Amaliqah;
kemudian datanglah keluarga-keluarga al-Khazraj dan al-Aus dari Yaman. Kedua
keluarga inilah yang memegang kekuasaan di Yatsrib. Sebelum agama Islam datang,
orang-orang Yahudi menetap di kota
ini sampai dengan hijrah Nabi Muhammad s.a.w.. Pada masa permulaan Islam,
Yatsrib merupakan pusat pemerintahan Islam.
4.
KEAGAMAAN
Sebelum agama Islam datang, bangsa
Arab telah menganut agama yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan
ini diwarisi secara turun- temurun sejak Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il
a.s.. Al-Qur’an menyebutnya dengan agama yang hanif, yaitu suatu
kepercayaan yang mengakui keesaan Allah sebagai pencipta alam semesta; yang
menghidupkan dan yang mematikannya; serta memberi rezeki dan lain sebagainya.
Kepercayaan kepada Allah tersebut
tetap diyakini oleh bangsa Arab hingga kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.. Hanya
saja keyakinan tersebut dicampuradukkan dengan takhayul, khurafat dan
kemusyrikan; menyamakan Tuhan dengan jin, roh, hantu, bulan bintang, matahari,
berhala, pohon dan lain sebagainya.
Kepercayaan yang menyimpang dari
agama hanif itu disebut dengan Watsaniyah. Artinya, agama yang
mempersyerikatkan Allah dengan mengadakan sesembahan kepada:
1.
Anshab, yaitu batu yang belum memiliki bentuk;
2.
Autsan, yaitu patung yang terbuat dari batu;
3.
Ashnam, yaitu patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua
patung yang tidak terbuat dari batu.
Penyimpangan itu terjadi
perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara
terhadap Tuhannya. Sedangkan Allah tetap diyakini sebagai Yang Maha Agung. Akan
tetapi, antara Tuhan dengan makhluk-Nya dirasakan ada jarak yang
mengantarainya. Berhala-berhala itu perlambang malaikat dan putera-puteri
Tuhan. Berhala-berhala juga merupakan kiblat atau penentu arah dalam
penyembahan dan peribadatan. Berhala itu tempat bersemayamnya roh nenek-moyang
mereka yang harus dihormati dan dipuja.
Demikian juga di antara mereka ada
yang mempertuhankan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang
memberi pengaruh terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
Akan tetapi sampai sekarang ini belum
dapat diketahui dengan pasti bilakah bangsa Arab itu mulai menyembah Anshab,
yang merupakan awal dari penyimpangan terhadap agama yag hanif itu.
Namun, penyembahan terhadap Autsan, ada riwayat yang menyatakannya mulai
dilakukan semenjak abad pertama Sebelum Masehi, dan berlanjut dengan
penyembahan terhadap Ashnam yang mulai dilakukan pada akhir abad kedua
Masehi.
Pada masa itu, Umar bin Lu’ai
mengadakan perjalanan dari Mekah ke Siria. Di Balka – yang pada saat itu sudah
berdiri Kerajaan Amaliqah – ia mendapati penduduk negeri tersebut sudah
menyembah berhala, sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setelah
bertanya apa yang disembah itu, ia memperoleh jawaban, bahwa yang disembah
penduduk negeri itu adalah berhala yang memberi tuah, mampu mencurahkan hujan
dan dapat memberi pertolongan. Ia meminta pada penduduk negeri itu, agar
diberikan pula padanya sebuah berhala yang akan dibawanya pulang. Mereka
memberikan kepadanya sebuah patung yang bernama Hubal; dan sesampainya di Mekah, ia
pun menyuruh bangsanya agar menyembah patung itu.
Hubal
adalah berhala yang terbesar yang diletakkan di dalam Ka’bah, terbuat dari batu
akik merah dan berbentuk seperti manusia. Semula tangan patung itu buntung,
tetapi akhirnya diberi tangan emas oleh bangsa Quraisy.
Selain Hubal, banyak berhala
yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Adapun nama-nama berhala itu diberikan
berkaitan dengan tujuan penyembahan. Di antara nama-nama berhala yang tersebut
di dalam al-Qur’an ialah:
1.
Manata, yang berarti Yang Maha Kuasa. Nama ini ada juga tercantum
dalam Kitab Talmud. Patung Manata ini disembah oleh Kabilah Hudzail dan
Khuza’ah.
2.
Lata, yang merupakan perlambang dari matahari.
3.
Uzza, merupakan perlambang bunga.
Ketiga berhala tersebut, dipuja dan
diagungkan juga oleh bangsa Quraisy terutama di saat mereka melakukan thawaf.
Kepada mereka itulah, bangsa Quraisy mengharapkan syafaat dan pembelaan.
Di samping ketiga patung yang
terkenal itu, dikenal pula: Waddan, sebagai lambang kasih-sayang; Suwa’an,
sebagai lambang kekerasan; Yaghutsan, sebagai lambang kesulitasn; dan Nasran,
sebagai lambang kekuatan dan kecepatan.
Setiap kabilah/keluarga, mereka
memiliki berhala kesayangan yang disimpan dalam rumah/tempat kediaman mereka,
dan akan disembah pada waktu-waktu tertentu. Pemujaan itu dilakukan dengan
mempersembahkan hewan kurban dan makanan di hadapan berhala, sebagai tumbal
dari suatu nadzar atau permohonan yang terkabul. Darah hewan sembelihan,
disapukan pada berhala sebagai tempat bernadzar. Begitu juga meramal nasib, dilakukan di hadapan berhala dengan
menggunakan alat undian yang disebut azlam.
Pada umumnya, kabilah-kabilah Arab
mempunyai Ashnam dan Autsan favorit yang dipujanya. Di samping
itu, ada juga kabilah yang menyembah matahari seperti Kabilah Himyar dan
Keturunan Balkis. Kabilah Thai menyembah bintang Tsurayah; Kabilah Tamim
menyembah Durban; Kabilah Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Syura dan
Abur; dan Kabilah Rabi’ah menyembah bulan dan begitu seterusnya.
Akan tetapi, tidak semua orang Arab
Jahiliyah penyembah Watsaniyah, karena ada beberapa kabilah yang menganut agama
Yahudi dan Masehi. Agama Yahudi dianut oleh bangsa Yahudi, yang juga masih
termasuk rumpun Semit.
Agama Yahudi sampai di Jazirah Arab
dibawa oleh Bangsa Israil dari negeri Asyuria. Mereka datang ke situ, karena
diusir oleh raja Rumawi yang beragama Masehi. Pengusiran itu berlangsung
terus-menerus, sehingga mereka berangsur-angsur mengungsi ke Yatsrib dan
sekitarnya. Pada abad kelima Masehi, kelompok ini telah tersebar di sebelah
utara Jazirah Arab, seperti Taima, Khaibar, Yatsrib dan Wadil-Quda. Kemudian
meluas ke bahagian selatan Yaman dan Najran. Penyebaran mereka di Jazirah Arab
terutama melalui jalur perdagangan.
Jatuhnya Himyariyah ke bawah
kekuasaan Nasrani, merupakan kelemahan mereka untuk menghadapi Persi dan
Rumawi. Di samping itu, mereka terkenal sebagai bangsa yang cerdas dan licik,
maka dengan kemampuan yang mereka miliki itu ajaran-ajarannya disiarkan juga
kepada beberapa kabilah Arab. Ajaran-ajaran mereka itu diterima dengan baik,
sebab ajaran-ajarannya sejalan dengan pemikiran keagamaan bagsa Arab yang
memang berakar pada ajaran Nabi Ibrahim a.s..
Al-Masih (Nabi Isa a.s.) dibangkitkan
untuk menyeru Bani Israil untuk menyembah Allah; agar berbudi luhur; menyayangi
si lemah; zuhud dari kehidupan dunia dan memperbanyak amalan ukhrawiyah.
Ajaran-ajaran al-Masih disiarkan oleh sahabat-sahabatnya. Sabda al-Masih dan
ceritera kehidupannya dihimpun dalam Kitab Injil.
Semenjak abad pertama Masehi, bangsa
Arab telah berhubungan dengan pemeluk agama Masehi, yaitu sewaktu mengadakan
perdagangan ke wilayah Rumawi dan Habsyi. Agama ini berkembang di kalangan
bangsa Arab pada abad keenam Masehi. Ada
beberapa kabilah yang memeluknya, seperti Kabilah Taghlib, Ghasasinah dan
Khudla’ah di sebelah utara, dan Yaman di sebelah selatan.
Pada masa itu, agama Masehi terpcah
menjadi beberapa sekte, seperti Nasturiyah yang tersiar di Hirah; Ya’qubiyah di
Ghasasinah dan Siria. Kota
yang menjadi pusat penyiaran agama ini adalah Najran. Kota ini dikelilingi oleh wilayah pertanian
yang subur.
Meskipun menjelang kenabian Muhammad
s.a.w. kehidupan keagamaan beraneka-ragam, namun ada juga kelompok masyarakat
yang terbebas dari pengaruh Watsaniyah, Yahudi dan Masehi. Kelompok ini tetap
berpegang pada agama hanif, yang menyeru agar mengesakan Allah dan melepaskan
diri dari pengaruh adat jahiliyah, seperti membunuh bayi wanita, meminum khamar
dan bermain judi.
Mereka yakin akan dekatnya masa
kebangkitan seorang rasul yang akan membawa ke jalan yang benar, dengan
melaksanakan kebajikan dan menghentikan kemungkaran. Di antaranya ialah Umayah
bin Abi Salat (seorang penyair); Waraqah bin Naufal (seorang yang
memiliki Kitab Injil); dan Qais bin Saudah al-Abadi (seorang yang arif
bijaksana, ahli pidato dan hakim).
Ketiga orang itu melaksanakan
ajarannya masing-masing dengan ajeg dan patuh, walaupun masih berbaur dengan
pemujaan terhadap berhala. Ka’bah,
sebagai rumah ibadah tetap dimuliakan; dan kota Mekah tetap dianggap sebagai Kota
Suci dan Pusat Peribadatan. Setiap tahun mereka mengadakan Ziyarah
dan mengerjakan ibadah haji. Di tengah-tengah pelaksanaan ibadah, mereka tetap
mengadakan penyimpangan, seperti tawaf mengelilingi Ka’bah tanpa busana dan
lain sebagainya.
5.
KEBUDAYAAN
Kabilah Qahthaniyah (Arab Aribah) di
selatan Jazirah Arabm pernah mendirikan kerajaan besar lagi makmur. Mereka itu
mendirikan kota-kota, membangun istana mewah, mengolah tanah dengan irigasi
yang cukup modern, memahat patung, ahli perbintangan, mempunyai angkatan perang
yang tangguh dan mengadakan perluasan wilayah serta mengadakan hubungan
perdagangan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya.
Seperti telah dijelaskan, bahwa salah
satu peninggalan sejarah di Yaman yang dapat ditemukan ialah sisa-sisa
Bendungan Ma’rib. Bendungan ini diperkirakan dibangun pada abad kedua Sebelum
Masehi. Bendungan ini membendung sungai yang mengalir di antara dua gunung pada
celahnya yang sempit. Di bagian puncaknya, dibuatlah saluran air yang mampu
mengairi 70 lembah yang membutuhkan pengairan dan pengolahan tanahnya.
Pembuatan bendungan ini, menunjukkan
adanya keahlian dan teknik yang sudah maju dari bangsa Arab Yaman itu.
Bendungan ini terpelihara dengan baik sampai pertengahan abad kedua Masehi.
Akan tetapi, karena berkurangnya perhatian dan tidak adanya pemeliharaan, maka
mengakibatkan bendungan itu mulai roboh.
Peristiwa robohnya bendungan ini
dikenal dengan sailul-arim atau banjir besar. Banjir ini melanda
kerajaan yang berada di sekitar Yaman, dan meruntuhkannya sehingga
bekas-bekasnya sulit dilacak. Di samping itu, ada sebuah bangunan suci yang
paling masyhur di kalangan bangsa Arab, yaitu Ka’bah yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim dan puteranya, Isma’il. Ka’bah itu kemudian dipelihara oleh keturunan
Amaliqah.
Pada masa keturunan Jurhum yang
berkuasa di Hijaz, mereka memperbaikinya pada kira-kira abad kelima Masehi oleh
Qushai bin Kilab. Kira-kira 5 tahun sebelum kerasulan, diadakan perbaikan lagi
oleh bangsa Quraisy yang berdiam di seputar Ka’bah (tanah Haram). Ka’bah adalah terbuat dari batu gunung dan
berbentuk kubus. Ka’bah selalu dihormati dan disucikan oleh kabilah-kabilah
Arab, apapun agama yang dianutnya. Rumah suci ini mempunyai daya tarik untuk
diziarahi pada setiap tahunnya, dan pada bulan-bulan tertentu, terutama pada
bulan haram.
Kecuali yang telah disebutkan,
kebudayaan material Arab Jahiliyah yang mendiami Hijaz dan sekitarnya, tidak
banyak disebut dalam sejarah. Akan tetapi kebudayaan non material lebih banyak
disebutkan. Di antaranya Syair Jahili, ceritera prosa, khithabah, amtsal, ansab
(ilmu keturunan), tenung dan ramalan, perbintangan, memanah, menunggang kuda
dan lain sebagainya.
Modal utama kebudayaan bangsa Arab
adalah bahasa yang mereka pergunakan untuk berkomunikasi. Mereka tidak
mengalami kesulitan dalam pergaulan, sebab bahasa Arab Musata’rabah itu
memiliki banyak persamaan dengan bahasa-bahasa lain yang serumpun dengan bahasa
Semit.
Bangsa Arab, Kaldan Asyuria, Ibrani,
Habsyi dan Finik dapat berkomunikasi, tanpa memerlukan perantara. Orang Arab
Himyar dari Mesir, apabila mendatangi Irak akan bertemu dengan orang Kaldan dan
Asyuria tanpa memakai penterjemah. Demikian halnya bila mereka mendatangi Yaman
dan Habsyi. Hal itu telah berlangsung berabad-abad, semenjak dari masa Nabi
Ibrahim a.s. (20 abad S.M.) yang berasal dari negeri Kaldan, kemudian
mengunjungi Siria, Finik, Mesir serta negeri-negeri Arab.
Nabi Ibrahim dapat bergaul dengan
penduduk di wilayah yang dikunjunginya tanpa menemukan kesulitan dalam masalah
bahasa. Kejadian seperti ini berlangsung terus. Bani Israil, dalam
pengembaraannya di negeri-negeri Arab selama 40 tahun (sekitar abad ke-5 S.M.)
dapat bergaul dengan bangsa Arab dengan bermodalkan bahasanya masing-masing.
Faktor bahasa ini, memperlancar
urusan perdagangan di antara bangsa-bangsa Arab yang kehidupannya
berpindah-pindah (nomaden) itu. Setiap tahun – di musim haji – mereka bertemu,
berkenalan, berdagang dan bersyair. Dalam pertemuan itu, terjadi pertukaran
pengalaman, pengetahuan dan perlombaan puisi. Dengan syair, mempercakapkan
kemuliaan dan turunan moyangnya, keberaniannya, keperkasaannya dalam mengembara
serta keberaniannya dalam berperang.
Berbagai syair bahasa Arab telah
dijumpai di Arab Selatan, semenjak abad ke-3 dan ke-4 M. Dengan demikian
dapatlah diketahui, bahwa sebelum Islam datang orang Arab Jahiliyah mempunyai
kesusasteraan yang baik.
Pada zaman itu – di Ukadh – pada
setiap tahun diadakan pasar tahunan, dengan tujuan untuk mengadakan sayembara
mengarang syair. Syair yang terpilih dan dipandang baik, akan ditulis dengan
tinta emas dan digantung di atas Ka’bah, yang kemudian disebut mu’allaqat.
Pengarangnya pun ternama dan dihormati orang.
Adapun penyair-penyair yang sering
mendapatkan kehormatan dan syairnya sering digantung di Ka’bah ialah: Umru’ul-Qais
(w. 540 M.), al-Harits (w. 564 M.), Antarah (w. 615 M.), Amer
(w. 622 M.) dan Lubaid (w. 622 M.). Syair-syair mereka juga dikenal
dengan Mu’allaqat atau yang digantungkan.
Selain mereka, masih dikenal lagi
seperti: Ibnu Kulsum, Taraf, Nabighah, Alqamah, Tabata
Sharan, Shanfara, Anas, Ibnu Hajar, Hatim at-Taimi
dan Samuel.
Di samping syair, ada jenis sastra
lain yang bernilai tinggi, yang oleh orang Arab Jahili dikenal dengan Amtsal
atau pepatah Arab.
Dari pepatah atau peribahasa yang
diwariskan oleh suatu bangsa, dapat diketahui pula peradabannya,
adat-istiadatnya dan budi pekertinya. Berbeda dengan syair – yang berisi
ungkapan rasa penyair – dan terikat oleh qafiyah (sajak) – maka amtsal
itu dapat berasal dari orang awam, karena amtsal terlepas dari ikatan sajak dan
mengandung buah pikiran umum.
Warisan Arab Jahili yang lain adalah kisah
(ceritera) prosa yang masih dapat dinikmati sampai saat ini. Dalam kisah juga
dapat ditelusuri perkembangan pemikiran bangsa Arab Jahili. Di antara kisah
yang termasyhur adalah Ayyamul-‘Arab, yang berisi tentang ceritera
peperangan yang terjadi antara kabilah-kabilah pada masa Jahiliyah. Misalnya
peperangan antara Dahis dengan Gabran; perang Fijar; perang Kulaib dan lain
sebagainya. Di samping itu, juga menceriterakan kisah peperangan antara bangsa
Arab dengan bangsa-bangsa di luar Jazirah Arab, seperti perang Dzul-Qarnain,
yaitu peperangan antara Bani Syibyan dengan Bangsa Persi, yang akhirnya
peperangan itu dimenangkan oleh Bani Syibyan.
Kisah-kisah Israiliyat juga banyak
disinggung di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka juga banyak mengetahui
kisah-kisah yang datang dari bangsa Persi, seperti ceritera Syarik bersama
Mundzir; ceritera Rustam bersama Aspandiyar.
Kehidupan Badwi yang keras itu,
memberi peluang untuk Arab Jahili dalam melengkapi dirinya dengan pengetahuan
dan keahlian yang sesuai dengan lingkungannya. Mereka mahir dalam membaca jejak
dan meramal peristiwa-peristiwa alamiah yang akan terjadi. Misalnya, kapan
turun hujan, di mana tempat yang terdapat mata air, sarang binatang buruan,
binatang buas dan lain sebagainya. Di siang hari, mereka dapat membaca jejak
yang tertera di atas pasir. Sedangkan di malam hari, mereka berpedoman kepada
bintang-bintang yang tak pernah tertutupi awan, untuk menentukan arah dalam
pengembaraan.
Salah satu kebanggaan Arab Jahili
ialah, mereka mengenal dengan baik silsilah keturunan nenek moyang mereka untuk
beberapa generasi. Setiap kabilah mengetahui silsilah keturunannya, yang
biasanya dibangsakan kepada Nabi Isma’il a.s. atau kepada Adnaniyah dan
seterusnya. Kemampuan memelihara nasab ini (silsilah keturunan), sejalan dengan
kemampuan mereka menghafal syair, amtsal dan ceritera prosa.
Orang Arab Jahiliyah biasanya terikat
kepada takhayul dan adat-istiadat yang melembaga dan diwarisi secara
turun-temurun. Takhayul dan adat-istiadat itu bertumpu kepada kepercayaan
Watsaniyah. Mereka juga mempercayai adanya roh jahat dan hantu. Hantu yang
berkeliaran di padang
pasir senantiasa berganti rupa dan suka mengganggu musafir dalam perjalanan.
Makhluk yang suka mengganggu itu disebut Ghaul (pria); dan Amir
(hantu wanita).
Kahin
(tukang tenung dan ramal) mempunyai kedudukan terpandang di tengah-tengah
masyarakat Jahiliyah. Malah ditakuti, karena menurut kepercayaan mereka kahin
mempunyai keampuhan, ajimat, tangkal dan sebagainya. Mereka dipercaya, karena
dapat bergaul dengan jin atau setan yang memberinya kekuatan magi dan dapat
digunakan untuk menyihir, mengobati dan yang sejenisnya.
Selain kehidupan mereka dikelilingi
oleh takhayul, mereka juga mempunyai pantangan-pantangan. Misalnya, siapa
mencela dan tidak menghormati berhala Lata, Uzza dan Manata, mereka akan mendapat
penyakit supak. Mereka dilarang untuk membunuh ular, karena ular itu
mempunyai roh yang bernama Hammah. Dalam perut manusia, ada ular yang
melilit yang jika manusia lapar, maka ular itu akan menggigitnya. Orang yang
tersesat dalam perjalanan, semua pakaiannya harus dibalik agar terlepas dari
salah jalan. Siapa yang bepergian, terlebih dahulu harus mengikat simpul pada
kayu dan batu. Setelah kembali, simpul ditengok lebih dahulu dan jika simpul
itu terbuka, maka berarti isteri yang ditinggal bepergian itu berbuat serong.
Jika musim kemarau panjang, maka
kambing-kambing mereka harus diberi rumput kering pada ekornya, kemudian rumput
itu dibakar. Dengan cara demikian, maka hujan akan segera turun. Jika akan
keluar rumah, maka tengoklah burung. Apabila burung itu terbang ke kanan,
berarti langkah baik; tetapi sebaliknya jika terbangnya ke kiri, maka berarti
akan mengalami nasib sial.
Biasanya, orang Arab Jahili tidak
terikat oleh aturan moral yang ketat. Bagi mereka tiada nilai yang bersumber
pada kitab suci yang perlu dipegangi dan ditaati. Ada kebebasan dan kemerdekaan dalam berpikir
dan bertindak. Apakah demi kabilah atau menuruti keinginan hawa nafsu. Minum
arak (khamar), berjudi, berzina, mencuri dan merampok, dipandang sebagai
perbuatan yang lumrah. Anak dari hasil pelacuran/perzinahan, diakui sebagai
anak yang sah. Adapun ayahnya ditentukan berdasarkan kemiripan pria yang pernah
menggauli ibunya. Kabilah yang dikalahkan dalam peperangan, dan perampokan,
lelakinya dijadikan sebagai budak dan wanitanya dijadikan sebagai gundik.
Ikatan perkawinan longgar. Wanita martabatnya rendah dan dipandang sebagai
harta kekayaan yang dapat diwariskan. Sebagian kabilah menganggap terhormat,
jika dapat mengubur bayi wanita, karena memelihara wanita hingga dewasa berarti
mendatangkan aib besar.
Demikianlah selintas gambaran budaya
bangsa Arab Jahili menjelang kenabian Muhammad s.a.w.. Kebudayaan mereka
merupakan suatu kebudayaan yang berdiri sendiri, yang telah melewati beberapa
fase sejarah. Kebudayaan mereka tumbuh dan berkembang hanya di lingkungan
mereka sendiri.
Maguwoharjo,
10-10-2010
Achmad Afandi