Pelarangan riba diturunkan tidak
sekaligus melainkan secara bertahap. Proses ini sama dengan pelarangan khamr
(minuman keras). Dari proses kedua pelarangan tersebut dapat kita lihat
persamaan antara riba dan khamr. Kedua fenomena itu sudah merupakan kebiasaan
yang mengakar pada masyarakat. Untuk meruntuhkan nilai-nilai yang sudah
sedemikian tertanam dalam masyarakat dibutuhkan cara yang tepat, bijaksana
namun tegas. Hal ini sangat sesuai dengan teori sosiologi modern, dimana untuk
menggantikan sesuatu yang sudah memasyarakat digunakan melting method. Nilai
lama tidak serta merta dilarang melainkan didudukkan dulu permasalahannya,
dikaji secara objektif keuntungan serta kerugiannya, dilakukan pemasyarakatan
nilai pengganti, “pemutihan”, dan tentu saja law enforcement. Inilah hikmah
diturunkannya al-Quran secara bertahap dimana ayat yang diturunkan mampu
menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang timbul dalam masyarakat. Selain
tercantum dengan sangat jelas dalam al-Quran, pelarangan riba juga terdapat dalam
hadits yang merupakan kontrol yang dilakukan oleh Rasulullah atas aplikasi
pelaksanaan perintah dan larangan dalam kehidupan nyata masyarakat.
Tahap pertama, penolakan terhadap
anggapan bahwa riba merupakan upaya menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Firman Allah:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Rum:39)
Ayat ini diturunkan di Makkah.
Pada saat itu Makkah merupakan kota perdagangan yang maju. Para pedagang tidak
saja aktif dalam jual beli barang ekspor impor, dan ekspedisi (caravan)
melainkan juga terlibat dalam pinjam-meminjam dan spekulasi. Mereka melakukan
hal ini karena tidak ingin uang mereka menganggur tanpa menghasilkan sambil
menunggu keberangkatan atau kedatangan rombongan ekspedisi yang mengangkut
barang mereka. Kondisi inilah yang merupakan asbab an-nuzul (sebab-sebab
turunnya) ayat ke 39 surat ar-Rum.
Tahap kedua, kilas balik tentang
dilarangnya riba bagi kaum sebelum Islam serta ancaman bagi mereka yang tetap
melakukannya.
Firman Allah:
“Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesuangguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”
(an-Nisa : 160-161)
Ayat ini diturunkan di Madinah.
Terdapat kesalahan penafsiran yang dilakukan Philips K.Hitti (seorang
orientalis) yang berpendapat bahwa pernyataan tersebut hanya berlaku bagi orang
Yahudi di Madinah saja. Dia bersandar pada ayat 160. Pendapat ini dibantah
salah satunya oleh Nabil Saleh yang mengemukakan bahwa riba tidak saja terdapat
di Madinah melainkan juga di tempat-tempat lain. Alasan lainnya, pada waktu itu
masyarakat Yahudi di Madinah mayoritas bergerak di bidang agraris (berkebun).
Penyebutan Yahudi dalam ayat ini tidak lain adalah sebagai reminder fakta
sejarah, bahwa umat sebelumnya diperingatkan akan tetapi mereka membangkang
oleh karena itu Allah mengancamnya dengan sangat keras.
Tahap ketiga, pelarangan riba
dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang “berlipat ganda”.
Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran : 130)
Ayat ini turun setelah perang
uhud yaitu pada tahun ke-3 Hijrah. Istilah “berlipat ganda” harus dipahami
sebagai “sifat” bukan “syarat”, sehingga pengertiannya tidak menjadi yang
diharamkan adalah yang berlipat ganda sedangkan yang sedikit tidak, melainkan
sifat riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah “berlipat ganda” dan ini
konteksnya adalah pada peminjaman hewan ternak. Masyarakat pada waktu itu biasa
meminjamkan hewan ternak berumur 2 tahun dan meminta kembalian ternak yang
berumur 3 tahun, jika meminjamkan yang berumur 3 tahun maka mereka meminta
kembalian yang berumur 4 tahun dan seterusnya. Kriteria umur ternak yang harus
dikembalikan terkadang tidak harus berurutan dan loncat tergantung kondisi
pasar. Misalkan mereka meminjamkan ternak berumur 1 tahun, bisa saja mereka
minta kembalian ternak berumur 3 tahun. Inilah yang dimaksud ad’afan muda’afah
(berlipat ganda) dalam surat Ali Imran ayat 13Inilah yang dimaksud ad’afan muda’afah
(berlipat ganda) dalam surat Ali Imran ayat 130.
Tahap keempat, merupakan tahap
terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman.
Firman Allah:
“Hai orang –orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum kamu
pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279)
Ayat-ayat tersebut turun pada masa-masa
akhir misi Rasulullah saw. Pada ayat sebelumnya (ayat 275-277) dinyatakan
secara tegas bahwa antara al-Bai’ (perniagaan/jual beli) dan ar-riba (interest)
adalah dua hal yang berbeda. Bai’ dihalalkan sedangkan riba merupakan suatu
aktivitas yang dilarang. Ayat tersebut juga menawarkan “pemutihan” atas
riba-riba tang telah dilakukan pada masa lalu dengan syarat tidak dilakukan
lagi setelah ada larangan ini. Bagi mereka yang tetap melakukannya, Allah
mengancam dengan sangat keras. Ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah “memusnahkan
“riba”. Kata “memusnahkan” memiliki konotasi yang sangat radikal, yang berarti
semua jenis riba, tidak peduli yang besar maupun yang kecil yang banyak maupun
yang sedikit semuanya akan dilibas habis sampai ke akar-akarnya.
Ayat- ayat tersebut turun berkenaan dengan
laporan Itab bin Usaid. Gubernur Makkah yang ditunjuk oleh Rasulullah saw
setelah pembebasan kota Makkah yang wilayah administrasinya meliputi Thaif,
kepada Rasulullah saw. kaum saqif(penduduk Thaif) telah membuat kesepekatan
dengan Rasulullah saw yang berhubungan dengan hutang piutang mereka yang
berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Salah satunya
yaiut Bani Mugirah yang sudah memeluk Islam menolak membayar kelebihan atas
penjaman kepada Bani Amr. Sebelumnya bani Mughirah selalu memberi kelebihan
atas pembayaran hutangnya. Inilah yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat
tersebut. Setelah mendapat laporan dan mencermati ayat –ayat yang turun,
Rasulullah saw langsung menulis surat balasan kepada Gubernur Itab yang intinya
berbunyi, “jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas (pelarangan
riba) maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka serukanlah ultimatum
perang kepada mereka”.
Selain tertulis dalam al-Quran,
larangan riba juga dikemukakan dalam berbagai hadis Rasulullah saw yang berisi
baik berupa penjelasan mengenai aktivitas riba itu sendiri, larangan untuk
melakukannya maupun perintah untuk meninggalkannya. Selain hadis yang telah
dikemukakan di atas, yang menjadi asbab an-nuzul surat al-Baqarah 275-281,
hadis –hadis lainnya antara lain sebagai berikut:
Dalam amanat terakhirnya pada
tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijrah, Rasulullah saw menekankan sikap Islam
yang melarang riba. Beliau bersabda, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap
Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu
mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang
pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan. (Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said
al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa kurma barni (kualitas yang
baik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana
engkau mendapatkannya? “Bilal menjawab, saya mempunyai sejumlah kurma radiy
(kualitas rendah) dan menukarkannya dua sa’ untuk satu sa’ kurma jenis barni
untuk dimakan oleh Rasulullah saw. selepas itu Rasulullah terus berkata,
Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini,
tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang
mutunya lebih rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang
tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi
tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima
dan pemberi sama-sama bersalah.” (Riwayat Muslim)
Diriwayatkan oleh Samurah bin
Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang
dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu
sungai yang berwarna merah seperti darah, dimana di dalamnya berdiri seorang
laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan
batu yang banyak yang sudah dikumpulkan di tangannya. Laki-laki yang di tengah
sungai itu berusaha menepi untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir
sungai tadi melempari mulutnya dengan batu yang sudah terkumpul tadi dan
memaksa kembali ke tempat asal. Setiap kali mencoba menepi kembali dia
dilempari batu. Aku bertanya, “Siapakah itu? ‘Aku beritahu, bahwa dia yang di
tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba” (Riwayat Bukhari)
Jabir berkata bahwa Rasulullah
saw mengutuk oang-orang yang memakan riba, orang yang membayarnya, dan
orang-orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya. Kemudian beliau bersabda,
mereka itu semuanya sama.” (Riwayat Muslim)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pada malam mi’raj, aku melihat orang-orang
berjalan menyerat perutnya yang sebesar rumah dan terlihat dari luar terisi
o9leh ular-ular. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab
bahwa mereka orang-orang yang memakan riba.” (Riawaya Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw bersabda. “Riba itu memiliki 70 bagian (tingkatan), yang
paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan
ibunya.” (Riwayat Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak
membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk
dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak
yatim, dan mereka yang tidak bertanggungjawab/menelantarkan ibu bapaknya.”
(Mustadrak al-Hakim)
Penjelasan dari al-Quran dan
Hadis inilah yang menjadi dasar penentuan haramnya riba. Bagi seoarang muslim,
keyakinan akan kebenaran pelarangan riba diikuti upaya yang kuat dan
sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya serta mencari alternatif solusi bisnis
yang bebas riba, merupaka sikap yang tidak saja sangat posistif melainkan juga
dijamin tidak akan tersesat dan terjebak dalam aktivitas yang merugikan dan
menghancurkan. Sabda Rasulullah saw:
“Telah aku tinggalkan dua hal
yang jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat selamanya. (dua
hal itu ) Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”
(bismillah)(kiri)
(bismillah)(kanan)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar