Rabu, 28 Desember 2011

Muhammad dengan Penghasilan Halal


Nabi Muhammad diutus Allah untuk menghapus segala sesuatu yang kotor, keji, dan gagasan- gagasan yang tidak sehat dalam masyarakat, serta memperkenalkan gagasan yang baik, murni, dan bersih, mengambil jalan yang suci dan sehat, seperti dalam firman-Nya, “Makanlah dari yang baik dan berbuat baiklah”(QS Al-Mukminun [23]: 51. Dan dalam surat Al-Baqarah, kita dapat menmbaca: “Makanlah tanpa ragu- ragu barang yang baik dan bersih yang telah kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 172).

“Barang yang bersih” berarti sehat dan diperoleh dengan cara yang halal. Kenyataan bahwa perintah, “makanlah barang yang suci” mendahului “lakukanlah amal saleh” menunjukkan bahwa perbuatan yang baik akan sia- sia tanpa disertai makanan yang halal. Ini telah dengan jelas diuraikan Nabi Muhammad dalam ucapannya, “Allah itu baik dan suci, dan hanya menerima hal- hal yang baik dan suci, dan Ia telah memerintahkan pada orang-orang yang beriman sama dengan yang diperintahkan pada rasul-Nya.” 

Selanjutnya, Nabi Muhammad membacakan Surah Al-Baqarah ayat 172 di atas serta berkisah tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan kusut dan kotor. Laki- laki itu mengulurkan tangannya dan berdoa, “Ya Tuhan, Ya Tuhan.” Sementara makanan, minuman, dan pakaiannya dihasilkan dari barang haram. Bagaimana mungkin doa itu akan diterima? (HR Muslim)

Nabi Muhammad telah mengeluarkan perincian mengenai penghasilan- penghasilan yang diharamkan.
Pertama, “Seorang yang menghasilkan harta yang haram dan memberikan sebagian darinya tidaklah dicatat sebagai sadaqah. Jika ia membagikan sebagian darinya, ia juga tidak akan menerima berkah, dan jika ia menyisakan sebagian darinya, itu akan menjadi penghasilannya untuk api neraka. Allah tidak menghapus perbuatan jahat dengan amal yang jahat, tetapi Dia menghapus perbuatan jahat dengan amal kebajikan. Segala sesuatu yang tidak suci tidak akan memusnahkan yang tidak suci.”(Ahmad dalam Syarh Al-Sunnah).
Kedua, “Daging yang berasal dari makanan yang haram tidak akan masuk surga. Tetapi neraka adalah lebih layak bagi semua daging yang berasal dari makanan haram.”(HR Ahmad, Al-Darimi, dan Al-Baihaqi)
Ketiga, “Allah akan memberikan rahmat pada orang yang berbaik hati ketika menjual, membeli, dan membuat pernyataan.”(HR Al-Bukhari)

Keempat, “Hindarilah banyak bersumpah ketika melakukan transaksi perdagangan, sebab itu akan menghasilkan penjualan yang cepat tetapi menghilangkan berkah.” (HR Muslim)

Kelima, “Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya (amanah) termasuk golongan para nabi orang-orang jujur, dan para syuhada.” (HR Al-Tirmidzi, Al-Darimi, Ibn Majah, dan Al-Daruquthni)

Keenam, “Para pedagang kaya akan dibangkitkan pada HariKebangkitan sebagai pelaku- pelaku kejahatan, kecuali mereka yang taqwa pada Allah, jujur, dan selalu mengatakan kebenaran.” (HR Al-Tirmidzi, Ibn Majah, Al-Darimi, Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman)

Dari sini dapat dilihat betapa hati- hatinya Nabi Muhammad SAW dalam hal makanan yang halal. Rasulullah mewariskan tuntunan yang cukup lengkap kepada kita tentang mana-mana saja sumber nafkah yang halal. Maka, hendaklah kita termasuk orang- orang yang memedulikan sumber penghasilan kita, karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap darah dan daging yang dibersarkan dari sumber yang tidak halal. Jika segumpal darah atau qalbu dari anak dan istri kita terbentuk dari sumber yang tidak halal, maka kelak akan melahirkan pula generasi- generasi yang moralnya rusak, akhlakanya menyimpang, dan tingkah lakunya tidak terpuji. Naudzubillah.
»»  READMORE...

Rabu, 14 Desember 2011

Muhammad Menghindari Bisnis Haram


Nabi Muhammad melarang beberapa jenis perdagangan, baik karena sistemnya maupun karena ada unsur-unsur yang diharamkan di dalamnya. Memperjual-belikan benda-benda yang dilarang dalam Al-Quran adalah haram. Al-Quran, misalnya, melarang mengkonsumsi daging babi, darah, bangkai, dan alkohol, sebagaimana firman Allah:

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa yang baik dari yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Nya. Ia mengharamkan atas kamu bangkai, darah, daging hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah.”(QS Al-Baqarah [2]: 175; Al-Maidah [5]: 3)

Nabi Muhammad melarang memperdagangkan segala sesuatu yang tidak halal. Jabir menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda pada hari kemenangan kota Makkah, “Allah dan Rasul-Nya telah menyatakan haram penjualan khamar, hewan yang mati secara alami(tidak disembelih), babi, dan berhala. Nabi Muhammad juga mengatakan, “Harga yang dibayarkan untuk membeli seekor anjing itu haram, sewa yang dibayarkan pada pelacur itu juga haram, dan pendapatan dari ‘cupper’ itu tidak halal”(HR Muslim). Nabi juga menambahkan bahwa hadiah yang diberikan pada tukang tenung itu haram (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, Nabi Muhammad melarang harga yang dibayarkan untuk darah, dan mengutuk orang yang menerima dan membayar riba (bunga), orang yang merajah tato di kulit, orang yang menato dirinya, dan pematung (HR Bukhari).

Nabi Muhammad sangat tegas teradap semua hal di atas, memerintahkan para sahabat agar berhati-hati terhadap barang-barang yang haram. Beliau berkata, “Tidak seorang pun dapat menjadi orang taat sebelum meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat dengan cara berhati-hati terhadap yang mendatangkan mudharat”(HR Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir, pernah berkata, “Daging yang tumbuh dari suatu yang haram tidak akan masuk surga, sedangkan neraka lebih sesuai bagi daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram.”

Pada kesempatan lain Nabi Muhammad juga mengajarkan cara-cara yang benar dalam menjual. Misalnya beliau pernah berkata, “Hindarilah banyak bersumpah ketika melakukan transaksi bisnis, sebab dapat menghasilkan sesuatu penjualan yang cepat tapi menghapuskan berkah”(HR Al-Bukhari dan Muslim).

Abu Dzar meriwayatkan bahwa nabi Muhammad pernah berkata, “Ada tiga orang yang tidak akan dilihat oleh Allah, dan mereka mendapat azab yang pedih.” Abu Dzar lalu bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad menjawab, “Salah satu dari mereka adalah orang yang menghasilkan penjualan barang yang cepat dengan sumpah palsu” (HR Muslim).

Kita dapat melihat dalam kehidupan berbisnis sehari-hari, betapa kebiasaan bersumpah palsu dalam meyakinkan pembeli menjadi pemandangan sehari-hari. Sumpah palsu sering dijadikan “senjata” dalam meyakinkan pembeli. Karena kita tidak yakin akan keunggulan dari barang dagangan kita, tidak dapat memberikan pelayanan yang baik, kita bersumpah untuk meyakinkan pembeli. Kebiasaan ini selain memperlihatkan rendahnya profesionalisme, juga terlarang dalam bisnis.




»»  READMORE...

Minggu, 27 November 2011

Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Periode Dinasti Umayyah

Apa yang anda ketahui tentang Dinasti Umayyah
• Siapakah Pendirinya
• Di Manakah Pusat Kekuasaannya
• Apa yang anda ketahui terkait dengan proses berdirinya Kekuasaan Dinasti Umayyah

Asal-Usul Dinasti Umayyah
• Diansti Umayyah adalah dinasti yang didirikan oleh keturunan Umayyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf, salah seorang tokoh suku Qurays yang dirintis oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang menjadi gubernur di Damaskus.
• Keluarga besar Dinasti Umayyah mulai memeluk agama Islam setelah peristiwa Fathul Makkah. Sebelumnya mereka termasuk keluarga yang menentang keras dakwah Rasulullah s.a.w.
• Sebagai keluarga elit suku Qurays, Dinasti Umayyah sejak wafatnya Rasulullah s.a.w. sudah mengincar kekuasaan atas umat Islam. Akan tetapi masih belum berhasil karena posisi mereka masih kalah dengan posisi para sahabat senior yang lain, seperti Abu Bakar, Umar dan lain-lain.
• Keluarga Dinasti Umayyah mulai menampakkan kiprahnya di panggung politik umat Islam sejak masa Khalifah Utsman bin Affan. Hal itu ditunjukkan secara langsung dengan mendukung Ustman sebagai khalifah pengganti Umar.
• Pada masa kekhalifahan Utsman, beberapa anggota keluarga dinasti Umayyah mendapat kedudukan penting, di antaranya adalah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang diangkat menjadi amir atau gubernur di Damaskus.
• Mu’awiyyah selanjutnya membangun basis kekuatan dinasti keluarganya di kota tersebut.
• Pada saat terjadi huru-hara di Madinah yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman, secara terang-terangan keluarga Umayyah mendukung Utsman dan meminta kepada khalifah Ali sebagai pengganti Utsman agar mengusut pembunuhan terhadap Khalifah Utsman
• Keluarga Umayyah yang diwakili oleh Mu’awiyyah di Damaskus mulai menunjukkan kekuatannya dengan menolak kebijakan Khalifah Ali dan bahkan menentangnya terkait dengan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
• Terjadi konflik terbuka antara Khalifah Ali dan Amir Damaskus, Mu’awiyyah dalam satu perang saudara dahsyat, yaitu Perang Shifin (657 M/37 H).
HASIL DARI TAHKIM ANTARA MU’AWIYAH DAN ALI
• Tahkim adalah penyelesaian konflik dengan cara diplomasi atau perjanjian atau gencatan senjata.
• Dalam kasus konflik antara Khalifah Ali dan Mu’awiyyah, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Asy’ari dan pihak Mu’awiyyah diwakili oleh Amr bin al-Ash.
• Hasil akhir dari Tahkim tersebut adalah kekuasaan di tangan Ali dilepaskan. Akibatnya, terjadi kekosongan kepemimpinan. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan tersebut Amr bin al-Ash mengangkat Mu’awiyyah sebagai khalifah
• Dengan kejadian itu, maka kekuasaan pemerintahan Islam jatuh ke tangan Mu’awiyyah dan pusat pemerintahan dipindah dari Madinah ke Damaskus
• Akibat dari peristiwa itu, maka secara politik umat Islam terpecah menjadi tiga, yaitu :
• Kekuatan Keluarga Mu’awiyyah
• Pendukung Ali yang kemudian dikenal dengan nama Partai Ali (Syi’ah Ali)
• Kelompokm orang-orang yang kecewa kepada keduanya dan dikenal dengan nama kaum Khawarij.
• Kaum Khawarij selanjutnya berusaha untuk menghancurkan kekuatan Umayyah dan Syi’ah
Pergantian sistem Pemerintahan Islam pada masa Umayyah
• Setelah Khalifah Ali wafat karena dibunuh oleh orang bekas pengikutnya yang kecewa (Khawarij), maka kekuasaan Mu’awiyyah semakin melenggang.
• Mu’awiyyah mulai memproklamirkan dirinya sebagai penguasa atas umat Islam pada tahun 661 M.
• Pusat pemerintahan kekuasaan Mu’awiyyah berada di Kota Damaskus, Syams.
• Mu’awiyyah berkuasa antara tahun 661 M/41 H sampai tahun 680 M/60 H.
• Selanjutnya, Mu’awiyyah digantikan oleh Putranya, yaitu Yazid.
• Terjadinya pergantian kepemimpinan dari Mu’awiyyah ke putranya, Yazid menjadi awal perubahan besar dalam sistem pemerintahan Islam.
• Yazid menjadi Khalifah atau pemimpin pada saat itu untuk menggantikan Mu’awiyyah adalah karena dia diangkat sebagai putra mahkota.
• Pengangkatan putra Mahkota sebelumnya tidak pernah terjadi dari 5 kali pergantian kehalifah setelah wafatnta Rasuluulah s.a.w.
• Mu’awiyyah merubah tradisi pengangkatan khlaifah yang sifatnya terbuka menjadi tertutup. Hak kekhalifahan dalam pemerintahan Islam yang sebelumnya menjadi hak setiap umat Islam saat itu berubah hanya menjadi milik dari keluarga umayyah.
• Dengan demikian, sejak masa pemerintahan Mu’awiyyah, sistem pemerintahan Islam mulai bergeser dan menjadi kenyataan ketika Yazid naik tahta menggantikan Mu’awiyyah.
Para Khalifah Dinasti Umayyah
• Secara kronologis pemerintahan Dinasti Umayyah berkuasa sejak tahun 661 M/41 H-750 M/132 H atau selama 91 Tahun.
• Selama masa itu, dinasti umayyah dipimpin oleh 14 orang khalifah, yaitu :
• Mu’awiyyah bin Abi Sufyan 661-680 M
• Yazid bin Mu’awiyyah (680-683 M)
• Mu’awiyah II bin Yazid (683-683 M)
• Marwan I bin al-Hakam bin Abu al-Ash. Abu al-Ash adalah saudara dari Harb, kakek dari Mu’awiyyah(683-685 M). Garis lain dari keluarga Umayyah selain dari garis Mu’awiyyah
• Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)
• Walid bin Abdul Malik (705-715 )
• Sulaiman bin Abdul Malik (715-717)
• Umar bin Abdul Azis (717-720 M)
• Yazid II bin Abdul Malik (720-724 M)
• Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M)
• Walid II bin Yazid II (743-744 M)
• Yazid III bin Walid I (744-744 M)
• Ibrhim bin Walid I (744-744 M)
• Marwan II bin Muhammad bin Marwan I(744-750 M)
Keadaan Kekuasaan Dinasti Umayyah
• Periode kekuasaan Dinasti Umayyah dibagi menjadi tiga, yaitu permulaan dan perkembangannya, kejayaan dan keruntuhannya
• Permulaan dan perkembangan terjadi sejak masa Mu’awiyyah sampai masa cucunya, yaitu Mu’awiyyah II
• Kejayaan terjadi pada masa Abdul Malik bin Marwan sampai masa Umar bin Abdul Azis.
• Keruntuhan dimulai pada masa pemerintahan Yazid II sampai masa Marwan II
Sistem Pemerintahan Dinasti Umayyah
• Sistem Monarchi Heredeties, yaitu sistem pemerintahan kerajaan yang kepemim[inannya diwariskan secara turun temurun
• Pola kekuasaannya sentralisasi, yaitu kekuasaan berpusat di satu tangan, yaitu di tangan khalifah dan berada di pusat pemerintahan. Sementara di wilayah diangkat gubernur atau amir sebagai wakil dari khalifah untuk mengurusi adminstrasi dan harus bertanggung jawab kepada khalifah.
Lembaga-lembaga pemerintahan Dalam Dinasti Umayyah
• Diwan al-Kitabah (Dewan sekretaris negara. Tugasnya adalah mengurusi berbagai persoalan negara. Dewan ini terdiri dari 5 jabatan, yaitu :
– Katib ar-rasail
– Katib al-Kharaj
– Katib al-Jund
– Katib asy-Surthah
– Katib al-Qadi
Amir al-Umara yaitu Gubernur Jenderal yang berkedudukan di pusat sebagai pengawas dari para amir di daerah-daerah. Tugasnya adalah mengurusi adminstrasi pemerintahan di daerah
• Departemen atau Diwan yang terdiri dari empat diwan, yaitu :
– Diwan al-Kharaj sebagai departemen keuangan
– Diwan al-Khatam sebagai departemen legalisasi pemerintahan
– Diwan ar-Rasail sebagai dewan yang mengurusi surat menyurat pemerintahan
– Diwan al-mustagallat dewan perpajakan
Kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah
• Perluasan Wilayah
– Untuk kebijakan ini, maka Dinasti Umayyah mengangkat beberapa panglima perang, yaitu Uqbah bin Nafi’ (ke wilayah Afrika Utara), Al-Hajja ibnu Yusuf, Qutaybah dan Muhammad bin al-Qasim
Sistem Pemerintahan
Birokrasi Pemerintahan
• Kekhalifahan berbentuk monachi heridetis (kerajaan turun-temurun). Bentuk pemerintahan seperti ini mencontoh kekaisaran Byzantium di Persia. Yang diawali dangan pengangkatan Yazid sebagai putera mahkota.
• Sistem administrasi pemerintahan diubah, mulai dari pembentukan pasukan pengawal raja, dibangun ruangan khusus di masjid untuk pengamanan khalifah tatkala shalat, Muawiyah memperkenalkan materai resmi, membuat balai-balai pendaftaran dan jawatan pos.
• Struktur pemerintahan, sebagai berikut: 1) Diwan al-Kitabah (Dewan Sekretaris Negara) yang mencakup: Katib al-Rasail, Katib al-Kharraj, Katib al-Jund, Katib as-Syurtah, Katib al-Qadi. Untuk adminisrasi pemerintahan di daerah diangkat Amir al-Umara (gubernur Jendral) yang membawahi sejumlah Amir.
• Sistem birokrasi tersebut berubah pada masa Abdul Malik ibn Marwan, yaitu dibentuk empat departemen pokok: 1) diwan al-kharraj (kementrian pajak tanah) yang bertugas mengawasi departemen keuangan; 2) diwan al-khatam (kementrian khatam) bertugas merencanakan dan mengesahkan ordonansi pemerintah; 3) diwan ar-Rasail (kementrian surat-menyurat) bertugas sebagai pengrontrol daerah dan komunikasi dengan para gubernur; 4) diwan al-mustagallat (kementrian urusan perpajakan).
• . Kebijakan Politik.
• 1. Perkembangan politik pada masa ini lebih diorientasikan pada perluasan wilayah. Pada masa Muawiyah dapat dikuasai: Tunis dan Qairawan di Afrika; Wilayah Khurasan sampai Lahore di benua India; di sebelah barat dapat dikuasai Rhodes dan pulau lain di Yunani; dan telah diusahakan hingga Konstantinopel.
• 2. Perluasan wilayah ditruskan pada masa Walid I (86/695) dalam pimpinan pasukan Qutaibah ibn Muslim dapat dikuasai Transoxania hingga perbatasan Cina, dan Khurasan.
• 3. Kemudian dalam pimpinan Muhammad ibn Qasim dapat dikuasai India hingga dapat menguasai seluruh penjuru Sind.
• 4. Adapun ekspansi ke wilayah barat, dipimpin oleh Musa bin Nusyair, berhasil menundukkan Al-Jazair dan Maroko, serta beberapa daerah di Afrika Utara.
• 5. Untuk menundukkan wilayah Spanyol, Musa mengangkat Tariq ibn Ziyad memimpin daerah dan pasukan muslim hingga dapat menundudukkan sejumlah kota (sevilla, Malaga, Elvira, dan Cordova) dan menjadikannya daerah Spanyol Islam yang disebut Andalusia.
• Organisasi Militer
• 1. Angkatan Darat (al-Jund), yang terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab, kecuali di Afrika Utara terdapat bangsa Barbar yang menjadi tentara. Untuk angkatan ini pada masa Abdul Malik bin Marwan diberlakukan Wajib Militer (Nidam at-Tajdid al-Ijbari). Mereka diperlengkapi kuda, baju besi, pedang, dan panah.
• 2. Angkatan Laut (al-Bahriyah), ini dirintis Muawiyah semenjak ia menjadi gubernur Syam. Kemudian ketika ia menjadi khalifah, angkatan laut diperluas dengan membangun kapal-kapal perang guna menangkis serangan armada Byzantium, tetapi juga digunakan untuk sarana transfortasi laut untuk perluasan wilayah Islam.
• 3. Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Ini pada mulanya bagian ari organisasi kehakiman. Kemudian menjadi independen dengan tugas mengawasi dan mengurusi soal kejahatan. Pada masa Hisyam bin Abdul Malik dibentuk Nidam al-Ahdas (Brigade Mobil) di dalam organisasi kepolisian ini.
Perkembangan Ekonomi.
• Perluasan wilayah mempengaruhi perkembangan ekonomi, maka pemerintah Umayyah memberlakukan sistem keuangan negara dengan kharraj dan jizyah seperti halnya masa Khulafa al-Rasyidun. Sementara itu diberlakukan sistem penggajian bagi bala tentara, khususnya orang-orang Arab.
• Penguasaan wilayah yang begitu luas memperlancar lalu lintas perdagangan Daulah Umayyah. Melalui jalan Sutera Tiongkok dapat memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan, dan wewangian. Adapun lalu lintas lautan dapat memperlancar jalur ke negeri-negeri timur untuk mencarai rempah-rempah, bambu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Keadaan ini menjadi Bashrah dan Aden sebagai kota pelabuhan yan amat ramai untuk lalu lintas dagang ke Syam dan Mesir serta sejumlah kota lain di timur Tengah.
• Reformasi Fiskal, diberlakukan pembedaan kewajiban membayar pajak antara Muslim-Arab, Muslim non-Arab, dan non-Muslim. Muslim-Arab hanya diwajibkan membayar pajak kekayaan beserta sumbangan wajib atas hak milik tanah, sedangkan yang lain mendapatkan beban pembayaran kharraj dan jizyah.
Perkembangan Sosial
 Pada masa ini masyarakat muslim sendiri dibedakan menjadi Arab (muslim bangsa Arab) dan Mawaly (muslim non Arab).
 Adapun masyarakat non-Muslim yang jumlahnya minoritas dikelompokkan ke dalam ahl al-Dimmah atau al-Musta’min (masyarakat yang dilindungi dan memperoleh keamanan). Kelompok terakhir ini terutama orang-orang Yahudi dan Nasrani.
 Dinasti ini mengembangkan politik Arabisme, yaitu dengan memberlakukan 1) akte kelahiran bagi masyarakat Arab untuk menjaga keasliannya, 2) menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan 3) adat istiadat dan sikap hidup mereka juga diharuskan menjadi Arab.
Perkembangan Seni-Budaya
Arsitektur
• Pada masa ini bidang asitektur yang dibangun Umayyah adalah perbaikan dan pembangunan kota-kota dan tempat ibadah (masjid-masjid). Gaya arsitektur yang dikembangkan adalah perpaduan antara Persia, Romawi, dan Arab dengan jiwa dan semangat Islam.
• Masa Muawiyah, kota Damaskus yang kemudian dijadikan ibukota daulah ini, di dalamnya didirikan gedung-gedung indah bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan.
• Kemudian masa Walid bin abdul Malik, kota itu diperbaharui dengan menyempurnakan ”istana hijau” di Miyata. Pada masanya juga dibangun Masjid Damaskus yang sangat luas dan megah dengan dinding-dinding berukir yang sangat indah. Demikian Walid berjasa memperbaiki Masjid Nabawi dengan memperluas konstruksi dan memperindah arsitekturnya. Adapun Masjidil Haram diperbaiki oleh Abdul Malik bin Marwan dengan memperluas bangunannya, sedangkan perbaikan estetiknya dilakukan Walid
b.Kerjinan
• Bidang ini yang menonjol adalah jasa Khalifah Abdul Malik, yaitu pembuatan tiraz (semacam kerajinan bordir) terutama cap resmi yang dietak pada pakaian khalifah dan parapembesar kerajaan. Guna produktifitas kerajinan ini, Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain dan pakaian resmi kerajaan, yang diawasi oleh Sahib at-Tiraz.
»»  READMORE...

Peradaban Islam masa Khulafa ar-Rasyidin

KONSEP MAP
Sistem Kekuasan Khulafa al-RasyidunKontribusi Para Khalifah memperjuangkan agamaHasil Peradaban Islam

SERAMBI/SENARAI
• periode al-Khulafa al-Rasyiddin adalah periode yang terdekat dengan era Kenabian. Oleh karena itu, secara moralitas, kehiduapan periode ini merupakan hasil pengejawantahan dari wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad saw.
• Generasi ummat Islam masa Nabi adalah generasi yang “maksum”. Maksum bukan berarti mereka tidak pernah berbuat salah. Mereka tetap manusia biasa yang terkadang salah. Hanya saja, setiap kali mereka berbuat salah, wahyu segera mengingatkannya dan mebetulkannya melalui Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, dalam perjalanan sejarah ummat Islam, adanya para shabat yang dijamin masuk syurga karena moralitasnya yang baik dan tinggi hanyalah pada masa Nabi Muhammad saw. saja.
• Perkembangan Islam baik dalam pengembangan ajaran, kebudayaan, maupun kekuasaan setelah masa Nabi Muhammad saw mengalami perubahan. Perubahan itu dimulai pada periode terdekat sesudah Nabi, yakni pada periode Khulafa al-Rasyidun.
• Bahkan, sebagian golongan yang keimanannya belum kuat menjadi murtad, mengaku sebagai nabi, dan ada pula yang tidak mau membayar zakat dan kewajiban Islam lainnya.
• Nabi Muhammad saw tidak mewasiatkan, siapa pengganti sesudah wafatnya. Karena itu, masyarakat muslim di Mekah dan Madinah dihadapkan kepada krisis kepemimpinan.
• Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak secara tegas membuat ketentuan yang baku tentang pola dan system pemerintahan Islam.
• Persoalan utama yang muncul sesudah wafatnya Rasulullah s.a.w. adalah terkait dengan siapakah yang akan menggantikan kedudukan Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam
• ummat sangat membutuhkan akan adanya pemimpin, maka para sahabat pun berijtihad sehingga melahirkan pola dan system pemerintahan baru, yaitu system kekhalifahan yang berbeda dengan pola kepemimpinan Kenabian yang disandang Nabi Muhammad saw.

Khulafa al-Rasyiddin
• Pengertiannya
– Kata al-Khulafa
• secara bahasa adalah jama’ dari kata khalif yang berasal dari kata khalafa yang berarti pengganti
• Dalam konteks politik kata khalifah berarti penguasa tertinggi
– kata al-rasyiddin berasal dari kata rasyada yang berarti menjadi lurus atau benar
– al-Khulafa al-Rasyiddin adalah para pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin tertinggi umat Islam yang lurus atau benar

• Personal Khulafa al-Rasyiddin
– Secara personal, sahabat Nabi yang disebut al-Khulafa al-Rasyiddin hanya dibatasi pada sosok empat orang sahabat utama yang menjadi pemimpin ummat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
– Keempat personal tersebut adalah :
• Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M),
• Umar bin Khaththab (634-644 M),
• Usman bin Affan (644-656 M) dan
• Ali bin Abi Thalib (656-661 M)

Dinamika Kekhalifan al-Rasyidin
• Abu Bakar (632-634 M)
– Proses Pengangkatan sebagai Khalifah
• Pada tahun 632 M, Begitu mendengar Nabi Muhammad saw. wafat, sore harinya beberapa tokoh sahabat dari Anshar segera berkumpul di Balai Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukan seorang pemimpin dari mereka.
• Tokoh yang dinominsikan adalah sahabat Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj
• Tokoh-Tokoh Muhajirin merasa ditinggalkan dalam musyawarah itu, maka begitu mendengar ada pertemuan tersebut, beberapa tokoh Muhajirin (Abu Bakar, Umar bin Khththab, Abu Ubaidah bin Jarrah) segera menuju ke Balai Tsaqifah Bani Saidah.
• Terjadilah pertemuan perwakilan dari dua kelompok, yaitu Kaum Muhajirin (Abu Bakar, Umar bin Khththab, Abu Ubaidah bin Jarrah) dan Anshar (Basyir bin Sa’ad, Asid bin Khudari dan Salim)
• Di dalam Musyawarah tersebut beberapa calon dimunculkan dari setiap kelompok:. Dari Muhajirin mengajukan Abu Ubaidah ibn Jarrah dan sebagian ada yang mengusulkan Abu Bakar as-Shiddiq, kalangan Anshar mengusulkan Sa’ad ibn Ubadah, Ahl al-Bait mengusulkan Ali ibn Abi Thalib.
• Maka atas kesepakatan musyawarah, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah I (11-13 H/632-634 M.).
– Pola Pengangkatannya
• Cara Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah menggantikan Kedudukan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin umat Islam secara garis besar menggunakan cara musyawarah
• Musyawarah yang dilakukan adalah musyawarah terbatas dengan sistem perwakilan.
• Pola kepemimpinannya
– Pola kepemimpinan atau pemerintahan yang muncul itu diberi label baru sebagai pemerintahan kekhalifahan atau khilafah.
– Sementara orang yang memimpinnya disebut khalifah dengan gelar Khalifatur Rasul Allah
– Sifat kepemimpinannya tegas yang dipadukan dengan ketawadhu’an
– Pola pemerintahannya bersifat sentralisitik, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif masih terpusat pada kebijakan khalifah.
– Hasil Kepemimpinannya
• Memberantas orang-orang yang murtad
• Ada sebagian dari umat Islam yang menganggap bahwa wafatnya Nabi Muhammad sebagai tanda telah berakhirnya kepemimpinan di dalam agama Islam. Mereka berupaya keluar dari loyalitas persekutuan ummat Islam. Mereka berupaya membangun komunitas sendiri terlepas dari Islam. sehingga dikenal sebagai komunitas orang-orang murtad yang keluar dari Islam
• Memberantas orang-orang yang enggan membayar zakat
• Ada sebagian uamt Islam yang masuk Islam pada masa-masa akhir yang menganggap bahwa zakat adalah pajak kepada Rasulullah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah s.a.w. wafat, maka pajak tersebut dianggapnya selesai
• Lebih mengedepankan pembangunan stabilitas keutuhan umat Islam di atas landasan risalah Islamiyah
• Menghimpun surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan di tangan para sahabat untuk dijadikan satu mushaf, khususnya setelah terjadi Perang Yamamah

• Umar bin Khththab (634-644 M)
– Proses Pengangangkatannya sebagai Khalifah
• Ketika Abu Bakar sudah mulai sakit dan merasa waktu wafatnya sudah dekat, maka dia menunjuk Umar sebagai penggantinya setelah dikonsultasikan kepada para sahabat lain yang senior.
• Sahabat-sahabat senior Nabi s.a.w. yang dimintai pendapatnya antara lain : Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan (Muhajirin) dan Asid bin Khudair IAnshar)
• Hasil konsultasi Abu Bakar dengan para sahabat senior itu kemudian ditulis oleh Utsman untuk dijadikan sebagai wasiat dan pada tahun 634 M ketika Abu Bakar wafat, maka berdasarkan wasita darinya itu maka Umar bin Khaththab diangkat sebagai Khalifah Abu Bakar atau pengganti Abu Bakar
– Pola Pengangkatannya
• Pola Pengangkatan Umar agak sedikit berbeda modelnya, yaitu dengan cara penunjukkan.
• Meski dengan model penunjukkan, tapi dalam prosesnya masih tetap menggunakan metode musyawarah.
• Hanya saja, musyawarahnya pemilihan Abu Bakar dilakukan secara terbuka, seedangkan musyawarah pemilihan Umar sifatnya tertutup
– Hasil Kepemimpinannya
• Berhasil memperluas wilayah kekuasaan pemerntahan Islam, di antaranya meliputi kota Madinah sendiri, kota Makkah, kota Basrah, kota Kufah, kota Fustat (Mesir), wlayah Palestina, dan Syiria
Merintis sistem pemerintahan Islam yang lebih modern dengan mengubah jabatan Khalifatur Rasul yang disandang Abu Bakar dan diteruskan oleh Umar yang seharusnya disebut sebagai Khalifah khalifatur Rasul, tapi karena dirasa terlalu panjang, maka dimunculkan sebutan baru sebagai gantinya, yaitu al-Amirul Mu’minin
• merintis pembentukan pemerintahan Islam yang lebih maju dan modern dengan membentuk semacam Daulah Islamiyyah (organisasi pemerintahan Islam) yang tidak lagi sentralistik
• Di dalam Daulah Islamiyah itu dilengkapi dengan infrastruktur-infrastruktur pendukung yang layaknya ada dalam sebuah pemerintahan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana, misalkan : An-Nidham asy-syiyasi (Organisasi politik) terdiri dari al-Khliafat, Wizariat dan Kitabah. An-Nidham al-Idary (Organisasi Tata Usaha/Administrasi). An-Nidham al-Maly (Organisasi keuangan negara), an-Nidham al-Harbi (organisasi ketentaraan) dan an-Nidham al- Qadha’I (organisasi kehakiman)
• Membuat Kalender Islam

• Ustman bin Affan
• Proses Pengangkatan sebagai Khalifah
• Pada tahun 644 di waktu Shubuh ketika sedang Shalat Umar ditusuk oleh Abu Lu’luah sehingga terluka cukup serius
• Melihat luka Umar yang cukup parah, maka beberapa sahabat menyarankan agar Umar menunjuk salah seorang Putranya, Abdullah bin Umar sebagai penggantinya seperti ketika Abu Bakar menunjuk dirinya.
• Umar menanggapi permintaan para sahabatnya itu dengan marah besar karena dia tidak mau menurunkan kekuasaannya kepada keluarganya.
• Untuk itu dia merkomendasikan enam orang sahabat agar mereka berunding guna menentukan siapa dari mereka yang akan dipilih menggantikan
• Keenam sahabat itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdullah bin Umar yang tidak mempunyai hak suara.
• Setelah Umar wafat, maka keenam orang tersebut segera bermusyawarah. Hanya saja, Thalhah bin Uaidillah yang sejak awal berada di luar Madinah tidak dilibatkan dalam pertemuan dan permusyawaratan tersebut.
• Permusyawaratan dipimpin sahabat yang paling senior, yaitu Abdurrahman bin ‘Auf.
• Musyawarah berjalan cukup alot karena masing-masing pihak merasa dirinya berhak untuk menggantikan Umar sebagai Khalifah
• Ada dua pihak yang dikehendaki oleh Umat Islam untuk diangkat sebagai khalifah, yaitu pihak Ali dan Utsman
Hasil akhir dari Musyawarah dewan ahl Halli wal aqdi (formatur) tersebut kemudian ditunjuklah Utsman sebagai Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khththab karena dipandang lebih siap
• Pola Pengangkatanya sebagai Khalifah
– Dengan tetap menggunakan sistem Musyawarah.
– Para calon telah ditetapkan atas pilihan khalifah sebelumnya
– Dari para calon itu selanjutnya dipilih salah satu sebagai Khalifah
– Musyawarah pemilihan Khalifah dilakukan antar calon (sistem Formatur) dengan dipimpin oleh salah seorang dari anggota Formatur tersebut
Ada satu anggota Formatur, yaitu Abdullah bin Umar yang tidak mempunyai hak dipilih karena posisinya hanya menjadi penentu jika vooting deadlock
• Jalannya Pemerintahan
– kepemimpinannya dikatakan berlangsung dengan sistem nepoteisme karena dalam struktur birokrasi itu banyak diangkat dari kalangan keluarga
– Karena itu pada penghujung kepemimpinannya terjadi kekacauan dan huru-hara.
• Ali bin Abi Thalib
• Proses Pengangkatan sebagai Khalifah
• Pola Pengangkatannya
• Hasil Kepemimpinannya
Pengelolaan Kas Negara
 Sumber kas negara mulai diatur pada masa Umar, yang bersumberkan pada pajak. Bagi muslim diwajibkan membayar zakat, sedangkan non muslim (dzimmy) dipungut jizyah (pajak kepala) dan kharraj (pajak tanah). Untuk pengelolaan keuangan negara dibentuk Baitul Mal. Semua tanah rampasan perang adalah milik negara
 Masa Usman, sistem pengelolaan kas negara dengan membentuk lembaga pertukaran tanah untuk membagi-bagikannya agar lebih produktif. Di samping itu ia banyak melakukan pembangunan a.l. membangun angkatan laut, bendungan, jalan, masjid, dan rumah tamu.
 Masa Ali ibn Abi Thalib ditetapkan Baitul Mal untuk mengembalikan semua tanah yang dibagi-bagikan Usman, khususnya dari Bani Umayyah, ke dalam perbendaharaan negara. Lantara inilah, konflik berkepanjangan antara Ali dan Bani Umayyah, misalnya terjadi pada Perang Jamal dan Perang Siffin.
Perluasan Wilayah
Terutama berlangsung pada masa khalifah Umar ibn Khattab. Sejumlah wilayah dapat ditaklukkan, secara kronologis dan wilayah-wilayah taklukannya antara lain: dapat dibaca Ummi Kulsum dalam Siti Maryam, dkk (ed), hlm. 61-64.
3. Kontribusi Para Khalifah terhadap Agama
 Memerangi Kaum Riddah. Hal ini merupakan jasa utama Abu Bakar as-Shiddiq. Dia berusaha keras untuk memerangi semua golongan masyarakat yang menyimpang dari kebenaran Islam, misalnya: murtad, tidak mau membayar zakat, dan mengaku diri sebagai nabi.
 Pemberlakuan Ijtihad. Ini dilakukan khususnya oleh Umar, karena ketika itu Islam telah meluas ke Syam, Mesir, dan Persia, sehingga Islam banyak bersentuhan dengan kebudayaan setempat. Maka Umar melakukan ijtihad dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pertanahan, dan hukum. Khususnya di bidang hukum, ia berijtihad: tidak melaksanakan potong tangan bagi pencuri yang kelaparan, menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf, dan menghapuskan hukum mut’ah.
 Pembukuan al-Quran. Dirintis sejak Abu Bakar, dengan penyusunan sebuah mushaf. Masa Umar, mushaf al-Quran disimpan di rumah putrinya, Hafsah. Kemudian pada masa Usman mushaf tersebut dikelola oleh sebuah lajnah yang diketuai Zaid ibn Tsabit, dan panitia berhasil menyamakan dialektika al-Quran manjadi sebuah Mushaf Usmani.
4. Hasil Kebudayaan Islam
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada periode ini ilmu pengetahuan baru berkembang dalam sifatnya sebagai ‘ulum an-naqliyah (’ulum asy-syari’ah), yakni ilmu-ilmu yang bersuberkan pada al-Quran dan dalil-dalil naqli, antara lain : Ilmu Qiraat, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Nahwu, Khath al-Quran, dan Ilmu Fiqh. Belum banyak berkembang pada masanya ‘ulum al-aqliyah (‘ulum al-‘Ajam).
. Perkembangan Sastra
Pada masa ini, sastra menonjol dalam bentuk prosa dengan pola khitabah, dan sedikit sekalai dalam tradisi kitabah. Kecenderungan demikian disinyalir karena pengaruh kuat al-Quran dan masyarakat lebih perhatian pengembangannya
3. Perkembangan Arsitektur
Kebudayaan ini dilihat dari sumbangan para khalifah dalam pembangunan masjid, antara lain Masjid al-Haram, Masjid Madinah, dan Masjid al-Atiq di Mesir. Di samping itu, pembangunan kota-kota pada periode ini : Basrah, Kufah, dan Fusthat.
»»  READMORE...

PERADABAN ISLAM ERA KENABIAN (Dinamika Dakwah Islam)



Muhammad diangkat menjadi Rasul
 Pada Senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum hijrah atau 6 Agustus 610 M, selagi ia berkhalwat di Gua Hira, Muhammad mendapatkan wahyu pertama, surat al-’Alaq, yang disampaikan malaikat Jibril
 Tidak lama kemudian, seketika dia tertidur lelap di rumah Khadijah, Muhammad mendapatkan wahyu lagi, surat al-Mudatsir (1-7) sebagai pertanda kerasulan Muhammad atas perintah Allah swt.

Dakwah Rasulullah saw di Makkah
• Selama 13 Tahun Rasulullah saw mendakwahkan Islam, dimulai dari keluarga serumah dan sahabat-sahabat terdekat. Dari keluarga, masuklah Khadijah, Ali ibn Abi Thalib. dan Zaid ibn Haritsah. Sementara itu dari kalangan sahabat, a.l. Abu Bakar, Utsman, dan Bilal.
• Reaksi kaum musyrikin Quraisy, dalam kepemimpinan Abu Sufyan, sangat kuat membendung dakwah Rasulullah dan para sahabatnya. Akibat tekanan mereka, Rasulullah menganjurkan untuk mengungsi ke Habsyi pada tahun 615 M.
• Pada saat pemboikotan Quraisy terhadap dakwah Muhammad, ia juga mendapatkan ujian berat dengan meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, sehingga tahun itu disebut ‘am al-huzn.
• Tetapi pada tahun kesedihan itu pula Rasullah diperintahkan isra dan mi’raj, dengan menerima syari’at kewajiban shalat fardhu, yaitu terjadi pada 27 Rajab tahun 11 sesudah kenabian.

Rasulullah s.a.w. Hijrah ke Yatsrib
• Setelah menempuh perjalanan panjang, Rasulullah dan rombongan tiba di Yatsrib pada 12 Rabiul Awwal atau 24 September 622 M.
• Di Yasrib inilah yang kemudian dikenal sebagai al-Madinah al-Munawwarah, Rasulullah saw menjalankan dakwahnya selama 10 tahun
Pembinaan Masyarakat dan Kebudayaan Islam di Madinah
• Nilai dan norma masyarakat berkenaan dengan peribadatan, sosial, ekonomi, dan politik bersumber kepada Quran dan Sunnah
• Membangun lembaga utama pembinaan umat melalui masjid: Quba dan Nabawi
• Poliitik, melalui pernjanjian damai dengan penduduk non muslim di Madinah, kemudian dikenal dengan Piagam Madina
• Menghilangkan identitas kesukuan, dan menggantinya dengan identitas IslaM
• Beberapa azas kemasyarakatan yang diletakkan Rasulullah saw adalah; al-ikha (persaudaran), al-musawwah (persamaan), al-tasammuh (toleransi), al-tasyawwur (musyawarah), al-ta’awwun (tolong menolong), dan al-’adalah (keadilan)
Perjuangan Rasulullah saw
 Menghadapi rongrongan kaum Yahudi
 Menghadapi rongrongan orang-orang munafik
 Menghadapi rongrongan kafir Quraisy dan sekutunya (berakhir dengan perang Badar, 17 Ramadhan 2 H, dengan perang Uhud, perang Khandaq, dan perang Ahzab
 Perjanjian Hudaibiyah
Rintisan Politik Nabi di Madinah
• Konsolidasi kekuasaan politik Nabi berlangsung sejak 622 M saat berhijrah ke Yatsrib
• Nabi membangun sebuah negara berdasarkan petunjuk kenabian (prophetic massage) yang dinamakan Madinah (madinat an-nabi)
• Kedudukan Muhammad di Madinah bukan hanya sebagai pemuka agama, tetapi juga pemuka politik. Karena itu, ia adalah Nabi, Kepala negara, Panglima Pasukan, Hakim Agung dan Pembentuk Hukum
• Wewenang Muhammad itu berdasarkan missi kenabian dan perintah al-Quran, antara lain Quran, 3:32
• Madinah pada masanya menampilkan kristalisasi sebagai sebuah keimaman dan sistem sosial-politik.
• Ciri kekuasaan politik Madinah, antara lain tindakan kemiliteran dan kegiatan diplomatik masyarakat muslim membentuk hegemoninya di Arabia Tengah.
• Makkah dikuasai dan suku-suku Arab disatukan ke dalam kesatuan politik, di bawah persemakmuran Arab dengan ideologi yang sama, dan tunduk kepada sebuah hukum di bawah kekuasaan pusat.


»»  READMORE...

Rabu, 16 November 2011

BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM


A.    PENGANTAR
Sebelum kita mempelajari arah SKI lebih lanjut, baiklah kita mengetahui dahulu keadaan Dunia Arab mulai dari keadaan goegrafisnya, keagamaan, social kemasyarakartan, politik, ekonomi dan kulturalnya sebelum Islam. Sebetulnya, sebelum agama Islam turun di sana, sejarah negeri itu tidak dikenal sama sekali. Untung agama Islam turun dilengkapi dengan al-Qur’an, yang di antara isinya menceriterakan keadaan umat sebelumnya. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan tidak dikenalnya sejarah negeri tersebut ialah:
1.      Tidak adanya kesatuan politik, karena mayoritas di antara penduduknya terdiri dari bangsa Badui yang senang mengembara keluar. Di samping juga karena mereka senang bermusuhan antara suku, serta tidak adanya solidaritas dan tidak adanya pemerintahan yang kuat.
2.      Mayoritas di antara mereka tidak mengerti hal tulis menulis, karena mereka masih dalam keadaan bodoh. Oleh karena itu, mereka tidak pernah mencatat segala sesuatu yang pernah terjadi. Adapun sebelum itu, pusat pemberitaannya diambil dari ceritera dari mulut ke mulut.
Selanjutnya untuk mempermudah uraian ini, maka uaraian pembahasan diurutkan sebagai berikut.

B.     NAMA ARAB
Arti dari kata Arab, sampai saat sekarang ini masih kabur, walaupun para ahli filologi telah berusaha untuk memberikan arti kata tersebut. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa kata Arab berasal dari:
1.      Bahasa Semit yang berarti Barat; nama Arab ini dikenakan bagi semua orang yang berdiam di sebelah barat lembah Furat. Namun, penjelasan ini tidak beralasan.
2.      Muhammad Hasyim ‘Athiya menyatakan, bahwa kata Arab itu mempunyai arti yang sama dengan kata ‘Arabha dari bahasa Ibrani yang berarti tanah gelap atau steppe. Kata ini seasal dengan kata Abhar yang berarti rahlah yang berarti pengembara. Dikatakan demikian, karena mayoritas dari bangsa Arab senang mengembara; senang berpindah dari satu tempat ke tempat lain (nomaden). Karena mempunyai watak demikian, maka disebut dengan bangsa Arab.
3.      Theodore Noeldeke – seorang orientalis bangsa Jerman – mengatakan, bahwa kata Arab atau Arabia itu berarti gurun pasir. Dikatakan demikian, karena tanah semenanjung itu sebahagian besar itu tanahnya terdiri dari gurun pasir. Dengan demikian, semenanjung tersebut disebut Arab.
Kiranya pendapat pada butir 2 dan 3 dapat dipadukan, sehingga pengertiannya menjadi rumusan/batasan yang memberi pengertian bahwa Arab adalah semenanjung yang sebahagian tanahnya terdiri dari gurun yang kehidupan bangsanya senang hidup mengembara (nomaden).

C.     TINJAUAN GEOGRAFIS
Negeri Arab atau biasa juga dikenal dengan Jaziratul Arab/Semenanjung Arab, adalah satu semenanjung yang terbesar di dunia ini.
Adapun luasnya kira-kira 1000 x 1000 x 1 km2 (sepertiga luas Eropa). Sedangkan letaknya di sebelah barat daya Benua Asia. Jadi jelasnya, semenanjung itu dibatasi oleh 3 (tiga) perairan dan 2 (dua) gurun pasir, yang meliputi:
1.      Sebelah Utara dibatasi oleh Gurun Irak dan Gurun Syam;
2.      Sebelah Selatan dibatasi oleh Samudera Hindi;
3.      Sebelah Barat dibatasi oleh Laut Merah; dan
4.      Sebelah Timur dibatasi oleh Teluk Persi.
Noeldeke menyebut negeri itu dengan Sahara atau padang pasir; sebab negerinya diliputi oleh sahara (gurun). Menurutnya, kata Arab sudah tercantum dalam kitab-kitab Yunani.
Meskipun negeri itu dikatakan sahara, namun bukanlah berarti bahwa semua negerinya terdiri dari sahara. Bahkan kalau dilihat, saharanya hanya terletak di tengah-tengah Jazirah saja, yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Adapun sahara yang terkenal ialah:
1.      Sahara Langit (Nufud);
2.      Sahara Selatan;
3.      Sahara Heart (Batu Hitam).
Kebanyakan para ahli dalam membagi wilayah tersebut berbeda pendapat. Ada yang mengatakan negeri itu dibagi menjadi dua, tiga, bahkan ada yang membaginya menjadi lima bahagian, bahkan ada yang membaginya sembilan bahagian. Adapun yang membaginya menjadi dua bahagian mengatakan, bahwa Jazirah Arab itu terbagi atas bahagian tengah dan tepi. Bahagian tengah terdiri dari tanah pegunungan yang jarang mendapatkan air hujan. Penduduknya sedikit sekali; terdiri dari kaum pengembara yang hidupnya selalu berpindah-pindah tempat menuruti turunnya hujan dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput sebagai tempat menggembala ternak mereka. Bahagian tengah ini, terbagi juga menjadi dua bahagian; bahagian utara disebut Nejed dan bahagian selatan disebut al-Ahqaf. Bahagian selatan ini penduduknya amat sedikit, oleh karenanya bahagian itu dikenal dengan nama ar-Rub’ul-Khali. Selanjutnya bahagian tepi, merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah itu. Pada pertemuan Laut Merah dan Laut India, pita itu agak lebar. Jazirah Arab bahagian tepi ini, hujan turun dengan teratur. Oleh karena itu, penduduknya hidupnya tidak mengembara, melainkan menetap di tempat tinggalnya. Mereka mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan, dan sempat pula membina berbagai ragam kebudayaan, sehingga mereka disebut Ahlul-Hadlarah. Pada bahagian tepi itu terdapat kota-kota dan kerajaan-kerajaan, seperti: al-Ahsha (Bahrain), Oman, Mahrah, Hadlramaut, Yaman dan Hijaz. Bahkan di bahagian tepi di sebelah utara pernah berdiri Kerajaan Hirah dan Kerajaan Ghasasinah.
Sedangkan pembahagian yang tiga meliputi:
1.      Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah barat-daya lembah Syam;
2.      Arabia Desrta, yaitu daerah Syam itu sendiri;
3.      Arabia Felix, yaitu negeri Yaman (Bumi Hijau)
Adapun pembahagian yang lima, meliputi:
1.      Tihamah.
Secara bahasa, kata Tihamah berarti sangat panas. Dikatakan demikian, karena udara di situ betul-betul sangat panas. Bahkan tumbuh-tumbuhan pun tidak ada sama sekali, karena jarang turun hujan. Adapun letaknya di sebelah barat Hijaz. Nama lain bagi Tihamah adalah Ghur yang artinya dataran rendah/gurun.
2.      Hijaz.
Secara bahasa, Hijaz berarti penghambat/tirai. Daerah ini semata-mata terdiri dari bukit barisan yang memanjang dari sebelah utara Yaman sampai ke Dataran Syam. Di sini udaranya sangat panas. Jarang sekali turun hujan, dan kalau turun hujan, maka terjadilah banjir yang airnya begitu derasnya mengalir ke laut, karena di situ terdapat lembah-lembah yang begitu banyak, sehingga tanahnya tandus. Kota-kotanya yang terkenal ialah: Mekah, Yatsrib (Madinah) dan Thaif.
Dinamakan Hijaz, yang berarti penghambat; sebab daerah tersebut menghambat tanah rendah Tihamah dengan dataran tinggi Nejed.
3.      Nejed.
Secara bahasa, Nejed berarti tinggi. Maksudnya, daerah ini merupakan dataran tinggi yang terletak di sebelah timur Hijaz. Di sini, tidak ada lembah ataupun tanah subur, walaupun di balik itu, udaranya nyaman. Pemandangannya pun indah, terutama pada musim bunga karena daerahnya diliputi oleh rumput-rumput hijau. Begitu pula pohon-pohonnya yang rindang serta bunga-bunganya yang beraneka ragam.
4.      Arudi.
Secara bahasa, Arudi berarti terhampar. Maksudnya, daerah itu terhampar antara Nejed, Irak dan Yaman. Negeri-negerinya ialah: Yamamah dan Bahrain.
5.      Yaman.
Secara bahasa, kata Yumn, yang berarti berkat, sebab daerah ini penuh dengan berkat dari Tuhan. Wilayah ini terletak di sebelah selatan Nejed sampai ke tepi pantai Lautan Hindi; ke timur memanjang sampai ke Oman.
Di sini tanahnya rendah, udaranya sedang dan banyak turun hujan. Oleh karena itu, tanahnya subur dan merupakan pusat air, sehingga sudahlah wajar jika banyak penduduk yang bermukim di situ. Mereka membuat rumah-rumah dari batu serta membuat bendungan-bendungan untuk penampungan air.
Wilayah ini, oleh bangsa Rumawi disebut dengan Arabia Felix (Tanah Arab yang mulia).

D.  STRUKTUR MASYARAKATNYA
1.      PENDUDUK
Bangsa Arab yang mendiami Jazirah Arab itu termasuk rumpun bangsa Semit (Samiyah), yang merupakan keturunan dari Sam bin Nuh. Selain bangsa Arab, ada bangsa lain yang termasuk rumpun tersebut, seperti: Asyuria, Babilonia, Phunisia dan Ibrani.  Pada garis besarnya, secara geneologis penduduk Jazirah Arab dapat dibagi dua, yaitu:

1.      Arab Baidah (Arab yang telah musnah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahuinya lagi, kecuali yang tersebut di dalam kitab-kitab suci (al-Qur’an), seperti Kaum ‘Ad dan Tsamud. Di antara kabilah mereka yang termasyhur adalah ‘Ad, Tsamud, Thasam, Jadis dan Jurhum.
2.      Arab Baqiyah (Arab yang masih ada), dan mereka terbagi menjadi dua kelompok, yang meliputi:
a.       Arab Aribah;
Mereka adalah kelompok Qahthan, dan tanah air mereka di Yaman. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal ialah: Jurhum, Ya’rub; dan dari Ya’rub ini keluarlah suku-suku Kahlan dan Himyar.
b.      Arab Musta’rabah;
Mereka ini adalah kebanyakan dari penduduk Arab, dari dusun sampai ke kota. Mereka mendiami bahagian tengah Jazirah Arab dan negeri Hijaz sampai ke lembah Syam.  Sebab mereka dinamakan Arab Musta’rabah, karena sewaktu Jurhum (dari suku Qahthaniyah) mendiami Mekah, dan mereka tinggal bersama Nabi Ibrahim serta ibunya, akhirnya Nabi Ibrahim kawin dengan wanita mereka dan kemudian Ibrahim serta putera-puteranya mempelajari bahasa Arab.  Dari merekalah kemudian menjelma bermacam-macam kaum dan suku Arab, termasuk suku Quraisy yang tumbuh dari induk suku Adnan. Akhirnya mereka menurunkan Nabi Muhammad s.a.w.

Selanjutnya, kita melihat pembahagian dari segi teritorial yang juga dapat dibagi menjadi dua bahagian, yaitu:
1.      Penduduk Kota (Ahlul-Hadlarah).
Penduduk kota ini diam dan menetap di kota-kota dengan mata pencaharian mereka yang utama berdagang dan bercocok tanam. Kafilah pedagang mereka menjadi penghubung bagi hasil-hasil perdagangan antara dunia Timur dan Barat. Mereka membeli barang-barang dagangan mereka dari India dan Tiongkok di Yaman, kemudian dijualnya ke Siria. Setibanya di Siria, mereka membeli barang-barang dagangan dari Eropa dan terus dijual di Yaman. Sedangkan penduduk yang bercocok tanam, mengusahakan perkebunan mereka terutama kurma.
2.      Penduduk Pedalaman (Ahlul-Badwi).
Penduduk pedalaman ini mendiami daerah pedalaman, dan cara hidup mereka berpindah-pindah (nomaden). Cara hidup ini sesuai dengan keadaan alam dari Jazirah Arab, yang sebahagian besar daerahnya terdiri dari gurun pasir dan pegunungan. Di sana-sini diselingi oleh oase.
Oleh karena keadaan alam yang demikian, maka satu-satunya mata pencaharian mereka adalah berternak; seperti biri-biri, kuda dan terutama unta. Unta dan kuda memegang peranan penting dalam kehidupan padang pasir. Bagi kaum Badwi, unta mempunyai arti yang sangat penting, sebab binatang tersebut dapat memberi bekal sehari-hari seperti alat pengangkutan dan alat tukar, di samping dagingnya yang enak dimakan. Begitu juga jumlah maskawin, besarnya denda atas pembunuhan, keuntungan main judi, kekayaan seorang penghulu (Syaikh), semuanya diukur dengan unta. Unta adalah teman karib seorang Badwi, karena air susunya dapat sebagai pengganti air, sebab air hanya diberikan kepada ternak mereka. Daging unta adalah santapan lezat bagi mereka; kulitnya dapat disulap mejadi pakaian dan perkemahan mereka; serta kotorannya dapat dijadikan sebagai bahan bakar.
Sedangkan kuda, bagi mereka dapat berfaedah untuk mengadakan penyerangan dengan geraknya yang begitu cepat; untuk berolahraga dan perburuan. Serbuan dengan mengendarai kuda dapat berlangsung secara cepat dan tiba-tiba. Kuda juga dapat memberikan keuntungan dalam penyerangan, terutama dalam memperebutkan padang rumput.

2.   STRUKTUR MASYARAKAT
Dalam struktur masyarakat Arab, terdapat organisasi klan (kabilah) sebagai intinya. Sedangkan anggauta klan mempunyai hubungan genealogis (pertalian darah).
Pada masyarakat Badwi, tiap klan mempunyai satu perkemahan yang terdiri dari beberapa kemah. Setiap kemah ditempati oleh satu keluarga. Tiap klan (kabilah) oleh anggauta yang tertua, yang disebut Syaikhul-Qabilah. Ia mempunyai kekuasaan untuk memimpin dan memberikan nasihat-nasihat. Sedangkan hal-hal yang yang bertalian dengan peperangan, harus diputuskan bersama dalam suatu permusyawaratan dengan anggauta-anggauta kabilah lainnya. Semua anggauta kabilah mempunyai kedudukan yang sama. Seseorang bisa kehilangan keanggautaannya dalam suatu klan, apabila ia melanggar disiplin, seperti membunuh salah seorang anggautanya. Dalam hal yang demikian ia harus menerima hukuman berupa qishash (dibunuh). Apabila si pembunuh tadi melarikan diri, maka ia kehilangan keanggautaannya. Orang yang kehilangan klannya, harus mencari perlindungan kepada klan yang lain. Agar dapat diterima sebagai anggauta klan, ia harus menempuh suatu upacara tertentu dengan meminum beberapa tetes darah dari anggauta asli klan itu. Akan tetapi, jika salah seorang anggauta klan membunuh salah seorang anggauta yang lain, maka pembunuhan itu menjadi tanggung jawab dari seluruh anggauta klannya. Hal ini berarti seluruh anggauta klan yang melakukan pembunuhan itu senantiasa terancam oleh anggauta-anggauta dari klan yang dibunuh. Mereka senantiasa berusaha untuk membalasnya.
Pada masyarakat kota pun didapati adanya kabilah-kabilah. Setiap kabilah juga dipimpin oleh seorang Syaihkul-Qabilah. Di antara mereka ada kabilah yang mempunyai status sosial yang tinggi. Misalnya, kabilah Quraisy yang berada di Mekah yang dianggap sebagai kabilah yang paling tinggi dibanding dengan kabilah yang lain. Hal itu dimungkinkan mereka secara turun-temurun memegang kekuasaan di Mekah. Di Yatsrib juga ada seperti kabilah Khazraj dan Aus, yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi, jika dibanding dengan kabilah-kabilah yang lain di kota itu.

3.      PEMERINTAHAN
Sebetulnya, masa pemerintahan bangsa Arab sebelum Islam dimulai dari golongan Arab Baidah. Masa pemerintahan mereka dianggap sebagai periode pertama sejarah pemerintahan bangsa Arab. Mereka telah mendirikan kerajaan-kerajaan, seperti: Ad, Tsamud dan Ambath (Amaliqah). Bekas-bekas peninggalan mereka sulit ditemukan.
Ada dugaan, bahwa Ad mendirikan pusat pemerintahannya di sekitar daerah al-Ahqfur-Raml, yang terletak kira-kira antara Yaman dan Oman. Kerajaan ini pernah meluaskan kekuasaannya ke Irak, Siria dan India; di samping juga pernah mendirikan kerajaan di Juhfah yang terletak di antara Mekah dan Yatsrib.  Adapun Tsamud mendiami daerah Hijer dan Wadil-Qura, di sekitar Hijaz dan Siria. Mereka membuat rumah-rumah mereka di atas bukit batu yang dipahat seindah mungkin.  Sedangkan Amaliqah, mendirikan kerajaannya di Arab Timur, Oman dan Hijaz. Keturunan mereka tersebar sampai ke Mesir dan Siria. Raja-raja di daerah tersebut termasuk keturunan Amaliqah.
Pemerintahan periode kedua adalah pemerintahan Arab Aribahrab Muta’rribah, yang sering disebut juga dengan Qahtaniyab. Mereka mendirikan kerajaan mereka di Yaman.
Pada periode ini ada tiga kerajaan besar yang berkedudukan di Yaman, yaitu Ma’iniyah, Saba’iyah dan Himyariyah.
Untuk jelasnya, maka hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
1.      Kerajaan Ma’iniyah.
Nama kerajaan ini dihubungkan dengan Mina, suatu tempat di dekat kota Mekah. Raja pertamanya ialah Abu Yada. Pada masa jayanya, kerajaan ini berhasil meluaskan daerah kekuasannya sampai ke tepi Laut Tengah, Teluk Persi dan Samudera India. Pada masa ini pula, dunia perdagangan mengalami kemajuan yang pesat. Rute perdagangan melalui Arab Tengah sampai ke dataran tinggi Hijaz.
2.      Kerajaan Saba’iyah.
Kerajaan ini membawa kemajuan bagi daerah Yaman. Ibu kota kerajaannya ialah Ma’rib, yang terletak kira-kira 3900 kaki di atas permukaan laut. Tidak jauh dari kota ini didirikan bendungan yang dikenal dengan Bendungan Ma’rib (Saddul-Ma’rib). Para sarjana yang menyelidiki teknik bendungan ini mengakui ketinggian mutu dan nilai arsitekturnya. Bendungan ini berfungsi sebagai penampung air yang pada musim kemarau, air itu didistribusikan ke daerah pertanian. Bendungan yang dibangun pada abad kedua Sebelum Masehi ini, membawa kemakmuran bagi daerah Yaman. Rusaknya bendungan ini mengakibatkan malapetaka bagi daerah ini.
3.      Kerajaan Himyariyah.
Pada hakikatnya, kerajaan ini merupakan penerus dari kerajaan Saba’iyah. Para penguasanya lebih mementingkan peperangan dan perluasan wilayah daripada membangun ekonomi. Oleh karena itu, mereka selalu melakukan penaklukan ke daerah Persi, Habsyi (Ethiopia) dan daerah-daerah lainnya. Salah seorang rajanya yang termasyhur adalah Syammar Yar Usy, yang berhasil menaklukkan Samarkand. Raja terakhirnya bernama Dzu Jadan al-Himyari, yang pada masa kekuasaannya Agama Nasrani dan Agama Yahudi mengalami perkembangan. Ia dikalahkan oleh Aryath, salah seorang Panglima Najasyi dari Habsyi, dan mulai saat itulah Yaman menjadi daerah kekuasaan Habsyi.
Selanjutnya, masuklah masa pemerintahan periode ketiga. Pada masa ini merupakan masa bagi golongan Arab Musta’rabah. Pusat kekuasaannya di Mekah dan Yatsrib. Pada periode ini, di bahagian utara Jazirah Arab berdiri dua kerajaan, yaitu Ghasasinah dan Hirah. Kedua kerajaan tersebut didirikan oleh bangsa Arab yang berasal dari Yaman, dari golongan Arab Aribah. Mereka bermukim di bahagian utara Jazirah Arab, sewaktu daerah tersebut dikuasai oleh Kerajaan Himyariyah.

Untuk jelasnya, maka kedua kerajaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1.      Kerajaan Ghasasinah.
Kerajaan ini didirikan oleh seorang keturunan Qahthan yang bernama Amar Muzigiyah bin Amar Mausama’, yang berpindah dari Yaman pada akhir abad ketiga Masehi (sesudah runtuhnya Bendungan Ma’rib).
Pada waktu itu, Arab Utara sedang dikuasai oleh Kerajaan Salih, yang berhasil mereka kalahkan. Pada perkembangan selanjutnya, kerajaan ini dipengaruhi oleh Bizantium. Bahkan dijadikan sebagai Buffer State (semacam negara kecil yang terletak di antara dua negara besar yang bermusuhan, dan menjadi perisai bagi salah satunya) untuk menghadapi Persi.
Untuk mempererat hubungan antara Ghasasinah dengan Bizantium, dimasukkanlah Agama Kristen ke dalam Kerajaan Ghasasinah. Kerajaan ini mencapai puncaknya pada abad keenam Masehi. Pada masa itu, kerajaan ini diperintah oleh Harits bin Jabalah (529 M. – 569 M.). Raja ini bermusuhan dengan tetangganya, yaitu kerajaan Hirah. Pada kesempatan ini, Harits memperoleh kemenangan, sehingga Kaisar Yustianus mengangkatnya sebagai raja untuk seluruh Jazirah Arab.
Sesudah Harits, Kerajaan Ghasasinah mengalami kemunduran, akibat perpecahan yang terjadi di dalam negeri. Raja yang terakhir dari kerajaan ini adalah Jabal bin Aiham, yang pada tahun 636 M., mengerahkan pasukannya untuk menghadang tentara Muslim dalam pertempuran Yarmuk. Akan tetapi dia dapat ditawan, dan memeluk agama Islam. Namun, tidak lama kemudian dia murtad lagi, bahkan melarikan diri ke Konstantinopel.

2.      Kerajaan Hirah.
Seperti halnya Kerajaan Ghasasinah, kerajaan ini pun didirikan oleh orang-orang Arab dari Yaman, keturunan Manadzirah. Oleh karena itu, kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan Manadzirah.
Kerajaan ini didirikan pada abad ketiga Masehi, dan bertahan sampai dengan datangnya Agama Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai pendiri kerajaan Hirah ini. Di antaranya, ada yang mengatakan bahwa pendirinya adalah Jazimah al-Ibrasyi; sementara yang lain mengatakan Amar bin Hadi bin Nasher, kemenakan Jazimah.
Kerajaan Hirah ini merupakan Buffer State bagi Persi untuk menghadapi Rumawi Timur (Bizantium). Menurut catatan, ada 25 orang raja yang memerintah; yang termasyhur di antaranya ialah; Amer bin Adi, Nu’man bin Umru’ul-Qais, al-Mundzir dan Nu’man III (580 M. – 602 M.) sebagai raja terakhir dari keturunan Lahim yang berkuasa selama itu.
Selanjutnya, kekuasaan dipegang oleh keturunan at-Taim dengan Iyas (602 M. – 611 M.) sebagai raja satu-satunya dari keturunan ini. Sesudah itu, urusan pemerintahan dicampuri oleh pemerintah Persi, bahkan sempat menempatkan seorang bangsa Persi sebagai penguasa di sana. Dengan demikian, kekuasaan beralih dari bangsa Arab ke tangan bangsa Persi, yang selanjutnya terjadi perampasan tanah milik orang Arab.

Selain kedua pemerintahan tersebut di atas, di Hijaz terdapat pula pemerintahan yang sudah teratur; yaitu di kota Mekah dan Yatsrib.
Letak kota Mekah sangat strategis, karena adanya suatu lembah yang dikelilingi oleh pegunungan as-Sarah, yang juga berfungsi sebagai benteng alam baginya. Jalan keluar masuk dari dan ke Mekah melalui tiga pintu utama. Ketiga pintu itu ialah:
1.      Pintu sebelah selatan menuju Yaman;
2.      Pintu sebelah barat menuju Laut Merah;
3.      Pintu sebelah utara menuju Yatsrib, Palestina dan Siria.
Kota Mekah ini dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s., ketika beliau hijrah bersama istrinya (Siti Hajar) dan anaknya (Isma’il) dari Mesir. Sebelum Nabi Ibrahim mendiami Mekah, kota tersebut didiami oleh keluarga Amaliqah, kemudian oleh keluarga Jurhum yang berasal dari Yaman. Ketika itulah datang Nabi Ibrahim bersama keluarganya.
Setelah Nabi Ibrahim, pemerintahan di Mekah dipegang oleh keturunan Isma’il, yang telah kawin dengan putri keluarga Jurhum. Selanjutnya, kekuasaan kota Mekah dipegang oleh Bani Khuza’ah, yang memerintah sampai dengan pertengahan abad kelima Masehi. Kemudian Kaum Quraisy keturunan Isma’il kembali mengambil alih kekuasaan itu pada tahun 440 M., dari tangan Bani Khuza’ah. Akhirnya kaum Quraisy menetapkan Qushai bin Kilab sebagai pemimpin dan penguasa kota Mekah.
Pada masa pemerintahannya, Qushai membentuk suatu dewan pemerintahan yang berfungsi untuk melayani kepentingan pemerintahan dan rakyat. Dewan itu terdiri dari:
1.      Al-Liwa, yaitu petugas yang membawa panji-panji dalam peperangan;
2.      Al-Hijabah, yaitu petugas yang memegang kunci Ka’bah, dan melayani segala urusan yang bertalian dengannya;
3.      Ar-Rifadah, yaitu petugas yang mengurusi makanan bagi jama’ah haji;
4.      As-Siqayah, yaitu petugas yang melayani minuman bagi jama’ah haji.

Sedangkan kota Yatsrib – yang setelah Nabi Muhammad hijrah ke sana berganti namanya menjadi Madinah – adalah kota penting kedua sesudah Mekah dan Hijaz.
Tentang siapa pendirinya, tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi, menurut dugaan, mula-mula kota ini didiami oleh keluarga Amaliqah; kemudian datanglah keluarga-keluarga al-Khazraj dan al-Aus dari Yaman. Kedua keluarga inilah yang memegang kekuasaan di Yatsrib. Sebelum agama Islam datang, orang-orang Yahudi menetap di kota ini sampai dengan hijrah Nabi Muhammad s.a.w.. Pada masa permulaan Islam, Yatsrib merupakan pusat pemerintahan Islam.

4.      KEAGAMAAN
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi secara turun- temurun sejak Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s.. Al-Qur’an menyebutnya dengan agama yang hanif, yaitu suatu kepercayaan yang mengakui keesaan Allah sebagai pencipta alam semesta; yang menghidupkan dan yang mematikannya; serta memberi rezeki dan lain sebagainya.
Kepercayaan kepada Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab hingga kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.. Hanya saja keyakinan tersebut dicampuradukkan dengan takhayul, khurafat dan kemusyrikan; menyamakan Tuhan dengan jin, roh, hantu, bulan bintang, matahari, berhala, pohon dan lain sebagainya.
Kepercayaan yang menyimpang dari agama hanif itu disebut dengan Watsaniyah. Artinya, agama yang mempersyerikatkan Allah dengan mengadakan sesembahan     kepada:
1.      Anshab, yaitu batu yang belum memiliki bentuk;
2.      Autsan, yaitu patung yang terbuat dari batu;
3.      Ashnam, yaitu patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu.
Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara terhadap Tuhannya. Sedangkan Allah tetap diyakini sebagai Yang Maha Agung. Akan tetapi, antara Tuhan dengan makhluk-Nya dirasakan ada jarak yang mengantarainya. Berhala-berhala itu perlambang malaikat dan putera-puteri Tuhan. Berhala-berhala juga merupakan kiblat atau penentu arah dalam penyembahan dan peribadatan. Berhala itu tempat bersemayamnya roh nenek-moyang mereka yang harus dihormati dan dipuja.
Demikian juga di antara mereka ada yang mempertuhankan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
Akan tetapi sampai sekarang ini belum dapat diketahui dengan pasti bilakah bangsa Arab itu mulai menyembah Anshab, yang merupakan awal dari penyimpangan terhadap agama yag hanif itu. Namun, penyembahan terhadap Autsan, ada riwayat yang menyatakannya mulai dilakukan semenjak abad pertama Sebelum Masehi, dan berlanjut dengan penyembahan terhadap Ashnam yang mulai dilakukan pada akhir abad kedua Masehi.
Pada masa itu, Umar bin Lu’ai mengadakan perjalanan dari Mekah ke Siria. Di Balka – yang pada saat itu sudah berdiri Kerajaan Amaliqah – ia mendapati penduduk negeri tersebut sudah menyembah berhala, sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setelah bertanya apa yang disembah itu, ia memperoleh jawaban, bahwa yang disembah penduduk negeri itu adalah berhala yang memberi tuah, mampu mencurahkan hujan dan dapat memberi pertolongan. Ia meminta pada penduduk negeri itu, agar diberikan pula padanya sebuah berhala yang akan dibawanya pulang. Mereka memberikan kepadanya sebuah patung yang bernama Hubal; dan sesampainya di Mekah, ia pun menyuruh bangsanya agar menyembah patung itu.
Hubal adalah berhala yang terbesar yang diletakkan di dalam Ka’bah, terbuat dari batu akik merah dan berbentuk seperti manusia. Semula tangan patung itu buntung, tetapi akhirnya diberi tangan emas oleh bangsa Quraisy.
Selain Hubal, banyak berhala yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Adapun nama-nama berhala itu diberikan berkaitan dengan tujuan penyembahan. Di antara nama-nama berhala yang tersebut di dalam al-Qur’an ialah:
1.      Manata, yang berarti Yang Maha Kuasa. Nama ini ada juga tercantum dalam Kitab Talmud. Patung Manata ini disembah oleh Kabilah Hudzail dan Khuza’ah.
2.      Lata, yang merupakan perlambang dari matahari.
3.      Uzza, merupakan perlambang bunga.
Ketiga berhala tersebut, dipuja dan diagungkan juga oleh bangsa Quraisy terutama di saat mereka melakukan thawaf. Kepada mereka itulah, bangsa Quraisy mengharapkan syafaat dan pembelaan.
Di samping ketiga patung yang terkenal itu, dikenal pula: Waddan, sebagai lambang kasih-sayang; Suwa’an, sebagai lambang kekerasan; Yaghutsan, sebagai lambang kesulitasn; dan Nasran, sebagai lambang kekuatan dan kecepatan.
Setiap kabilah/keluarga, mereka memiliki berhala kesayangan yang disimpan dalam rumah/tempat kediaman mereka, dan akan disembah pada waktu-waktu tertentu. Pemujaan itu dilakukan dengan mempersembahkan hewan kurban dan makanan di hadapan berhala, sebagai tumbal dari suatu nadzar atau permohonan yang terkabul. Darah hewan sembelihan, disapukan pada berhala sebagai tempat bernadzar. Begitu juga meramal  nasib, dilakukan di hadapan berhala dengan menggunakan alat undian yang disebut azlam.
Pada umumnya, kabilah-kabilah Arab mempunyai Ashnam dan Autsan favorit yang dipujanya. Di samping itu, ada juga kabilah yang menyembah matahari seperti Kabilah Himyar dan Keturunan Balkis. Kabilah Thai menyembah bintang Tsurayah; Kabilah Tamim menyembah Durban; Kabilah Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Syura dan Abur; dan Kabilah Rabi’ah menyembah bulan dan begitu seterusnya.
Akan tetapi, tidak semua orang Arab Jahiliyah penyembah Watsaniyah, karena ada beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi dan Masehi. Agama Yahudi dianut oleh bangsa Yahudi, yang juga masih termasuk rumpun Semit.
Agama Yahudi sampai di Jazirah Arab dibawa oleh Bangsa Israil dari negeri Asyuria. Mereka datang ke situ, karena diusir oleh raja Rumawi yang beragama Masehi. Pengusiran itu berlangsung terus-menerus, sehingga mereka berangsur-angsur mengungsi ke Yatsrib dan sekitarnya. Pada abad kelima Masehi, kelompok ini telah tersebar di sebelah utara Jazirah Arab, seperti Taima, Khaibar, Yatsrib dan Wadil-Quda. Kemudian meluas ke bahagian selatan Yaman dan Najran. Penyebaran mereka di Jazirah Arab terutama melalui jalur perdagangan.
Jatuhnya Himyariyah ke bawah kekuasaan Nasrani, merupakan kelemahan mereka untuk menghadapi Persi dan Rumawi. Di samping itu, mereka terkenal sebagai bangsa yang cerdas dan licik, maka dengan kemampuan yang mereka miliki itu ajaran-ajarannya disiarkan juga kepada beberapa kabilah Arab. Ajaran-ajaran mereka itu diterima dengan baik, sebab ajaran-ajarannya sejalan dengan pemikiran keagamaan bagsa Arab yang memang berakar pada ajaran Nabi Ibrahim a.s..
Al-Masih (Nabi Isa a.s.) dibangkitkan untuk menyeru Bani Israil untuk menyembah Allah; agar berbudi luhur; menyayangi si lemah; zuhud dari kehidupan dunia dan memperbanyak amalan ukhrawiyah. Ajaran-ajaran al-Masih disiarkan oleh sahabat-sahabatnya. Sabda al-Masih dan ceritera kehidupannya dihimpun dalam Kitab Injil.
Semenjak abad pertama Masehi, bangsa Arab telah berhubungan dengan pemeluk agama Masehi, yaitu sewaktu mengadakan perdagangan ke wilayah Rumawi dan Habsyi. Agama ini berkembang di kalangan bangsa Arab pada abad keenam Masehi. Ada beberapa kabilah yang memeluknya, seperti Kabilah Taghlib, Ghasasinah dan Khudla’ah di sebelah utara, dan Yaman di sebelah selatan.
Pada masa itu, agama Masehi terpcah menjadi beberapa sekte, seperti Nasturiyah yang tersiar di Hirah; Ya’qubiyah di Ghasasinah dan Siria. Kota yang menjadi pusat penyiaran agama ini adalah Najran. Kota ini dikelilingi oleh wilayah pertanian yang subur.
Meskipun menjelang kenabian Muhammad s.a.w. kehidupan keagamaan beraneka-ragam, namun ada juga kelompok masyarakat yang terbebas dari pengaruh Watsaniyah, Yahudi dan Masehi. Kelompok ini tetap berpegang pada agama hanif, yang menyeru agar mengesakan Allah dan melepaskan diri dari pengaruh adat jahiliyah, seperti membunuh bayi wanita, meminum khamar dan bermain judi.
Mereka yakin akan dekatnya masa kebangkitan seorang rasul yang akan membawa ke jalan yang benar, dengan melaksanakan kebajikan dan menghentikan kemungkaran. Di antaranya ialah Umayah bin Abi Salat (seorang penyair); Waraqah bin Naufal (seorang yang memiliki Kitab Injil); dan Qais bin Saudah al-Abadi (seorang yang arif bijaksana, ahli pidato dan hakim).
Ketiga orang itu melaksanakan ajarannya masing-masing dengan ajeg dan patuh, walaupun masih berbaur dengan pemujaan terhadap berhala.  Ka’bah, sebagai rumah ibadah tetap dimuliakan; dan kota Mekah tetap dianggap sebagai Kota Suci dan Pusat Peribadatan. Setiap tahun mereka mengadakan Ziyarah dan mengerjakan ibadah haji. Di tengah-tengah pelaksanaan ibadah, mereka tetap mengadakan penyimpangan, seperti tawaf mengelilingi Ka’bah tanpa busana dan lain sebagainya.

5.      KEBUDAYAAN
Kabilah Qahthaniyah (Arab Aribah) di selatan Jazirah Arabm pernah mendirikan kerajaan besar lagi makmur. Mereka itu mendirikan kota-kota, membangun istana mewah, mengolah tanah dengan irigasi yang cukup modern, memahat patung, ahli perbintangan, mempunyai angkatan perang yang tangguh dan mengadakan perluasan wilayah serta mengadakan hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya.
Seperti telah dijelaskan, bahwa salah satu peninggalan sejarah di Yaman yang dapat ditemukan ialah sisa-sisa Bendungan Ma’rib. Bendungan ini diperkirakan dibangun pada abad kedua Sebelum Masehi. Bendungan ini membendung sungai yang mengalir di antara dua gunung pada celahnya yang sempit. Di bagian puncaknya, dibuatlah saluran air yang mampu mengairi 70 lembah yang membutuhkan pengairan dan pengolahan tanahnya.
Pembuatan bendungan ini, menunjukkan adanya keahlian dan teknik yang sudah maju dari bangsa Arab Yaman itu. Bendungan ini terpelihara dengan baik sampai pertengahan abad kedua Masehi. Akan tetapi, karena berkurangnya perhatian dan tidak adanya pemeliharaan, maka mengakibatkan bendungan itu mulai roboh.
Peristiwa robohnya bendungan ini dikenal dengan sailul-arim atau banjir besar. Banjir ini melanda kerajaan yang berada di sekitar Yaman, dan meruntuhkannya sehingga bekas-bekasnya sulit dilacak. Di samping itu, ada sebuah bangunan suci yang paling masyhur di kalangan bangsa Arab, yaitu Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan puteranya, Isma’il. Ka’bah itu kemudian dipelihara oleh keturunan Amaliqah.
Pada masa keturunan Jurhum yang berkuasa di Hijaz, mereka memperbaikinya pada kira-kira abad kelima Masehi oleh Qushai bin Kilab. Kira-kira 5 tahun sebelum kerasulan, diadakan perbaikan lagi oleh bangsa Quraisy yang berdiam di seputar Ka’bah (tanah Haram).  Ka’bah adalah terbuat dari batu gunung dan berbentuk kubus. Ka’bah selalu dihormati dan disucikan oleh kabilah-kabilah Arab, apapun agama yang dianutnya. Rumah suci ini mempunyai daya tarik untuk diziarahi pada setiap tahunnya, dan pada bulan-bulan tertentu, terutama pada bulan haram.
Kecuali yang telah disebutkan, kebudayaan material Arab Jahiliyah yang mendiami Hijaz dan sekitarnya, tidak banyak disebut dalam sejarah. Akan tetapi kebudayaan non material lebih banyak disebutkan. Di antaranya Syair Jahili, ceritera prosa, khithabah, amtsal, ansab (ilmu keturunan), tenung dan ramalan, perbintangan, memanah, menunggang kuda dan lain sebagainya.
Modal utama kebudayaan bangsa Arab adalah bahasa yang mereka pergunakan untuk berkomunikasi. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam pergaulan, sebab bahasa Arab Musata’rabah itu memiliki banyak persamaan dengan bahasa-bahasa lain yang serumpun dengan bahasa Semit.
Bangsa Arab, Kaldan Asyuria, Ibrani, Habsyi dan Finik dapat berkomunikasi, tanpa memerlukan perantara. Orang Arab Himyar dari Mesir, apabila mendatangi Irak akan bertemu dengan orang Kaldan dan Asyuria tanpa memakai penterjemah. Demikian halnya bila mereka mendatangi Yaman dan Habsyi. Hal itu telah berlangsung berabad-abad, semenjak dari masa Nabi Ibrahim a.s. (20 abad S.M.) yang berasal dari negeri Kaldan, kemudian mengunjungi Siria, Finik, Mesir serta negeri-negeri Arab.
Nabi Ibrahim dapat bergaul dengan penduduk di wilayah yang dikunjunginya tanpa menemukan kesulitan dalam masalah bahasa. Kejadian seperti ini berlangsung terus. Bani Israil, dalam pengembaraannya di negeri-negeri Arab selama 40 tahun (sekitar abad ke-5 S.M.) dapat bergaul dengan bangsa Arab dengan bermodalkan bahasanya masing-masing.
Faktor bahasa ini, memperlancar urusan perdagangan di antara bangsa-bangsa Arab yang kehidupannya berpindah-pindah (nomaden) itu. Setiap tahun – di musim haji – mereka bertemu, berkenalan, berdagang dan bersyair. Dalam pertemuan itu, terjadi pertukaran pengalaman, pengetahuan dan perlombaan puisi. Dengan syair, mempercakapkan kemuliaan dan turunan moyangnya, keberaniannya, keperkasaannya dalam mengembara serta keberaniannya dalam berperang.
Berbagai syair bahasa Arab telah dijumpai di Arab Selatan, semenjak abad ke-3 dan ke-4 M. Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa sebelum Islam datang orang Arab Jahiliyah mempunyai kesusasteraan yang baik.
Pada zaman itu – di Ukadh – pada setiap tahun diadakan pasar tahunan, dengan tujuan untuk mengadakan sayembara mengarang syair. Syair yang terpilih dan dipandang baik, akan ditulis dengan tinta emas dan digantung di atas Ka’bah, yang kemudian disebut mu’allaqat. Pengarangnya pun ternama dan dihormati orang.
Adapun penyair-penyair yang sering mendapatkan kehormatan dan syairnya sering digantung di Ka’bah ialah: Umru’ul-Qais (w. 540 M.), al-Harits (w. 564 M.), Antarah (w. 615 M.), Amer (w. 622 M.) dan Lubaid (w. 622 M.). Syair-syair mereka juga dikenal dengan Mu’allaqat atau yang digantungkan.
Selain mereka, masih dikenal lagi seperti: Ibnu Kulsum, Taraf, Nabighah, Alqamah, Tabata Sharan, Shanfara, Anas, Ibnu Hajar, Hatim at-Taimi dan Samuel.
Di samping syair, ada jenis sastra lain yang bernilai tinggi, yang oleh orang Arab Jahili dikenal dengan Amtsal atau pepatah Arab.
Dari pepatah atau peribahasa yang diwariskan oleh suatu bangsa, dapat diketahui pula peradabannya, adat-istiadatnya dan budi pekertinya. Berbeda dengan syair – yang berisi ungkapan rasa penyair – dan terikat oleh qafiyah (sajak) – maka amtsal itu dapat berasal dari orang awam, karena amtsal terlepas dari ikatan sajak dan mengandung buah pikiran umum.
Warisan Arab Jahili yang lain adalah kisah (ceritera) prosa yang masih dapat dinikmati sampai saat ini. Dalam kisah juga dapat ditelusuri perkembangan pemikiran bangsa Arab Jahili. Di antara kisah yang termasyhur adalah Ayyamul-‘Arab, yang berisi tentang ceritera peperangan yang terjadi antara kabilah-kabilah pada masa Jahiliyah. Misalnya peperangan antara Dahis dengan Gabran; perang Fijar; perang Kulaib dan lain sebagainya. Di samping itu, juga menceriterakan kisah peperangan antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa di luar Jazirah Arab, seperti perang Dzul-Qarnain, yaitu peperangan antara Bani Syibyan dengan Bangsa Persi, yang akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh Bani Syibyan.
Kisah-kisah Israiliyat juga banyak disinggung di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka juga banyak mengetahui kisah-kisah yang datang dari bangsa Persi, seperti ceritera Syarik bersama Mundzir; ceritera Rustam bersama Aspandiyar.
Kehidupan Badwi yang keras itu, memberi peluang untuk Arab Jahili dalam melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keahlian yang sesuai dengan lingkungannya. Mereka mahir dalam membaca jejak dan meramal peristiwa-peristiwa alamiah yang akan terjadi. Misalnya, kapan turun hujan, di mana tempat yang terdapat mata air, sarang binatang buruan, binatang buas dan lain sebagainya. Di siang hari, mereka dapat membaca jejak yang tertera di atas pasir. Sedangkan di malam hari, mereka berpedoman kepada bintang-bintang yang tak pernah tertutupi awan, untuk menentukan arah dalam pengembaraan.
Salah satu kebanggaan Arab Jahili ialah, mereka mengenal dengan baik silsilah keturunan nenek moyang mereka untuk beberapa generasi. Setiap kabilah mengetahui silsilah keturunannya, yang biasanya dibangsakan kepada Nabi Isma’il a.s. atau kepada Adnaniyah dan seterusnya. Kemampuan memelihara nasab ini (silsilah keturunan), sejalan dengan kemampuan mereka menghafal syair, amtsal dan ceritera prosa.
Orang Arab Jahiliyah biasanya terikat kepada takhayul dan adat-istiadat yang melembaga dan diwarisi secara turun-temurun. Takhayul dan adat-istiadat itu bertumpu kepada kepercayaan Watsaniyah. Mereka juga mempercayai adanya roh jahat dan hantu. Hantu yang berkeliaran di padang pasir senantiasa berganti rupa dan suka mengganggu musafir dalam perjalanan. Makhluk yang suka mengganggu itu disebut Ghaul (pria); dan Amir (hantu wanita).
Kahin (tukang tenung dan ramal) mempunyai kedudukan terpandang di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah. Malah ditakuti, karena menurut kepercayaan mereka kahin mempunyai keampuhan, ajimat, tangkal dan sebagainya. Mereka dipercaya, karena dapat bergaul dengan jin atau setan yang memberinya kekuatan magi dan dapat digunakan untuk menyihir, mengobati dan yang sejenisnya.
Selain kehidupan mereka dikelilingi oleh takhayul, mereka juga mempunyai pantangan-pantangan. Misalnya, siapa mencela dan tidak menghormati berhala Lata, Uzza dan Manata, mereka akan mendapat penyakit supak. Mereka dilarang untuk membunuh ular, karena ular itu mempunyai roh yang bernama Hammah. Dalam perut manusia, ada ular yang melilit yang jika manusia lapar, maka ular itu akan menggigitnya. Orang yang tersesat dalam perjalanan, semua pakaiannya harus dibalik agar terlepas dari salah jalan. Siapa yang bepergian, terlebih dahulu harus mengikat simpul pada kayu dan batu. Setelah kembali, simpul ditengok lebih dahulu dan jika simpul itu terbuka, maka berarti isteri yang ditinggal bepergian itu berbuat serong.
Jika musim kemarau panjang, maka kambing-kambing mereka harus diberi rumput kering pada ekornya, kemudian rumput itu dibakar. Dengan cara demikian, maka hujan akan segera turun. Jika akan keluar rumah, maka tengoklah burung. Apabila burung itu terbang ke kanan, berarti langkah baik; tetapi sebaliknya jika terbangnya ke kiri, maka berarti akan mengalami nasib sial.
Biasanya, orang Arab Jahili tidak terikat oleh aturan moral yang ketat. Bagi mereka tiada nilai yang bersumber pada kitab suci yang perlu dipegangi dan ditaati. Ada kebebasan dan kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak. Apakah demi kabilah atau menuruti keinginan hawa nafsu. Minum arak (khamar), berjudi, berzina, mencuri dan merampok, dipandang sebagai perbuatan yang lumrah. Anak dari hasil pelacuran/perzinahan, diakui sebagai anak yang sah. Adapun ayahnya ditentukan berdasarkan kemiripan pria yang pernah menggauli ibunya. Kabilah yang dikalahkan dalam peperangan, dan perampokan, lelakinya dijadikan sebagai budak dan wanitanya dijadikan sebagai gundik. Ikatan perkawinan longgar. Wanita martabatnya rendah dan dipandang sebagai harta kekayaan yang dapat diwariskan. Sebagian kabilah menganggap terhormat, jika dapat mengubur bayi wanita, karena memelihara wanita hingga dewasa berarti mendatangkan aib besar.
Demikianlah selintas gambaran budaya bangsa Arab Jahili menjelang kenabian Muhammad s.a.w.. Kebudayaan mereka merupakan suatu kebudayaan yang berdiri sendiri, yang telah melewati beberapa fase sejarah. Kebudayaan mereka tumbuh dan berkembang hanya di lingkungan mereka sendiri.

Maguwoharjo, 10-10-2010

                                                                                                       Achmad Afandi
»»  READMORE...

Pengikut