Jumat, 28 Oktober 2011

Muhammad Sebagai Syariah Marketer


Muhammad diutus oleh Allah SWT bukan sebagai seorang pedagang. Beliau adalah seorang nabi dengan segala kebesaran dan kemuliaannya. Beliau mengatakan dalam haditsnya, “Aku diberi wahyu bukan untuk menumpuk kekayaan atau menjadi seorang pedagang.”

Rahasia keberhasilan dalam perdagangan adalah sikap jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan. Dengan berpegang teguh pada prinsip ini, Muhammad telah memberi teladhan cara terbaik untuk menjadi pedagang yang berhasil. Sebelum menikah dengan Siti Khadijah, Muhammad telah berdagang –sebagai “Direktur’ Pemasaran’ Khadijah & Co” ke Syiria, Yerusalem, Yaman, dan tempat-tempat lainnya. Dalam perdagangan-perdagangan ini, Nabi Muhammad mendapatkan keuntungan yang melebihi dugaan. Banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Siti Khadijah, tetapi tak seorang pun yang bekerja lebih memuaskan dibanding Muhammad.

Siti Khadijah meresa senang dengan kejujuran, integritas, dan kemampuan berdagang Muhammad sehingga sifat-sifat ini kemudian menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dalam dirinya. Di sini, Muhammad telah menunjukkan cara berbisnis yang tetap berpegang teguh pada kebenaran, kejujuran, dan sikap amanah serta sekaligus tetap memperoleh keuntungan yang optimal.

Nabi Muhammad sangat menganjurkan umatnya untuk berbisnis (berdagang), karena berbisnis dapat menimbulkan kemandirian dan kesejahteraan bagi keluarga, tanpa tergantung atau menjadi beban orang lain. Beliau pernah berkata, “Berdaganglah kamu, sebab dari sepuluh bagian penghidupan, sembilan diantaranya dihasilkan dari berdagang.” Al-Quran mengatakan, 

 “Dan kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS An Naba’[78]: 11).

Ini merupakan petunjuk untuk berdagang dan beberapa kegiatan lain agar seseorang dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hanya. Al-Quran juga memberi motivasi untuk berbisnis pada ayat berikut:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 198)

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah[62]: 10).

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS Al-Baqarah [2]: 275).

Nabi Muhammad bersabda, “Mencari penghasilan halal merupakan suatu tugas wajib.” Abu Bakar, khalifah pertama dari Khulafa’ Al Rasyidin, memiliki usaha dagang bahan pakaian. ‘Umar ibn Khattab, pemimpin kaum beriman, sang penakhluk kekaisaran Persia dan Byzantium, pernah menjadi pedagang jagung. ‘Utsman ibn ‘Affan dikenal sebagai konglomerat tekstil (pakaian). Demikian juga dengan Imam Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang pakaian.

Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah mendapat nasihat dari beliau agar berdagang untuk memenuhi penghidupan mereka, dan dengan demikian mereka pun menjadi sejahtera. Banyak contoh lain yang membuktikan bahwa para sahabat Nabi Muhammad berprofesi sebagai pedagang dan pemasar dalam suatu komunitas bisnis. Nabi Muhammad, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sahabatnya, sangat menekankan pentingnnya perdagangan.



Sumber: SyariahMarketing, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula


»»  READMORE...

Rabu, 26 Oktober 2011

Implementasi Syariah Marketing: Berbisnis Cara Nabi Muhammad Saw

Muhammad adalah Rasulullah, Nabi terakhir yang diturunkan untuk menyempurnakan ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan sebelumnya. Rasulullah adalah suri teladan umat-Nya. “Sesungguhnya pada  diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab [33]: 21). Akan tetapi, pada sisi lain, Nabi Muhammad saw juga adalah manusia biasa; beliau makan, minum, berkeluarga dan bertetangga, berbisnis dan berpolitik, serta sekaligus memimpin umat.

Aa Gym, dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pedagang yang sukses juga pemimipin agama sekaligus kepala negara yang sukses. Jarang ada nabi seeperti ini. Ada yang hanya sukses memimpin agama, tetapi tidak memimpin sebuah negara. Maka, sebenarnya kita sudah menemukan figur yang layak dijadikan idola, dan dijadikan contoh dalam mengarungi dunia bisnis.1

Pada bagian ini, saya ingin memotret sisi lain dari Nabi Muhammad saw yaitu Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad memberikan contoh yang sangat baik dalam setiap transaksi bisnisnya. Beliau melakukan transaksi bisnisnya. Beliau melakukan transaksi-transaksi secara jujur, adil, dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh, apalagi kecewa. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangannya dengan standar kualitas sesuai dengan pelanggan. Reputasinya sebagai pedagang yang benar dan jujur, telah tertanam dengan baik sejak muda. Beliau selalu memperlihatkan rasa tanggungjawab terhadap setiap transaksi yang dilakukan.

Lebih dari itu, Muhammad, juga meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan transaksi dagang secara adil. Kejujuran dan keterbukaan Muhammad dalam melakukan transaksi perdagangan merupakan teladan abadi bagi pengusaha generasi selanjutnya.

 Ucapan-ucapan Muhammad berikut ini telah menjadi kaidah yang sangat berharga bagi pekerja keras yang menjunjung tinggi profesionalisme dan kejujuran :
“Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, di samping tugas-tugas lain yang diwajibkan.”(HR Al-Baihaqi)
“Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri.” (HR Al-Bukhari)
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk dalam golongan para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus, dan para syuhada.”(HR Al-Tirmidzi, Al-Daruqutni)
“Segala sesuatu yang halal dan haram sudah jelas, tetapi di antara  keduanya terdapat hal-hal yang samar dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa berhati-hati terhadap barang yang meragukan, berarti telah menjaga agama dan kehormatan dirinya. Tetapi, barangsiapa yang mengikuti hal-hal yang meragukan berarti telah terjerumus pada yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan binatangnya di sebuah ladang yang terlarang dan membiarkan binatang itu memakan rumput di situ. Setiap penguasa mempunyai peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar, dan Allah melarang segala sesuatu yang dinyatakan haram.” (HR Al-Bukhari Muslim)
“Allah memberikan rahmat-Nya pada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan.” (HR Al-Bukhari)


Hadits-hadits ini banyak menjadi panduan bagi pelaku bisnis syariah yang ingin mengembalikan cara-cara bisnis yang beradab dan bermoral, tanpa ada penipuan, penzaliman, dan eksploitasi kelemahan orang lain untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing, sebagaimana yang dicontohkan dalam bisnis Nabi Muhammad saw.



Sumber: Syariah Marketing, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula




»»  READMORE...

Minggu, 23 Oktober 2011

Dasar-Dasar Syariah Marketing


Dari Era Rasional ke Emosional ke Spiritual
Banyak orang mengatakan, pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market). Maksudnya, orang tertarik untuk berbisnis pada pasar syariah karena alasan-alasan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) yang bersifat emosional, bukan karena ingin mendapatkan keuntungan finansial yang bersifat rasional. Sebaliknya, pasar konvensional atau non syariah, orang ingin mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya, tanpa terlalu peduli apakah bisnis yang digelutinya tersebut mungkin menyimpang atau malah bertentangan dengan ajaran agama Islam. Benarkah demikian?

Suatu ketika, saya berdiskusi ringan dengan seorang kiai yang juga pakar ekonomi syariah dan anggota Dewan  Pengawas Syariah (DPS) dari beberapa bank dan asuransi syariah, K.H. Dr. Didin Hafidhuddin. Saya bilang, “Pak Kiai, apakah benar ada dikotomi antara pasar emosional dan pasar rasional? Dan apakah pasar syariah itu pada awalnya hanyalah pasar emosional, kemudian bergeser ke pasar rasional?” Jawaban beliau terus terang tidak saya duga, “Kata siapa orang yang ada di pasar emosional tidak rasional? Justru orang-orang yang ada di pasar emosional sebenarnya sangat rasional dalam menentukan pilihan.”
Beliau mengatakan, orang yang berada dalam kategori pasar emosional biasanya lebih kritis, lebih teliti, dan sangat cermat dalam membandingkan dengan bank atau asuransi konvensional yang selama ini digunakannya, sebelum menentukan pilihan ke pasar syariah. Sambil bercanda beliau menambahkan, “Hitung-hitungan orang seperti ini malah bisa sampai ke hitung-hitungan amal ke akhirat.”

Pernyataan ini ada benarnya. Coba kita tengok pendapat seorang praktisi perbankan syariah dikotomi pasar emosional dan pasar rasional, Budi Wisakseno. Beliau yang merupakan mantan Direksi Bank Muamalat indonesia dan saat buku ini ditulis menjabat sebagai Direktur Utama Bank Syariah Mega Indonesia, mengatakan bahwa pemahaman dikotomi antara nasabah rasional dan nasabah emosional adalah keliru. Cara berfikir seperti itu, katanya, dilandasi oleh teori pemasaran konvensional yang berpaham sekuler; segala hal yang berlandaskan cara berfikir keagamaan serta-merta akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional.

 Ketika seorang nasabah rasional mendapatkan informasi bahwa suku bunga perbankan (konvensional) sedang tinggi, ia menarik dananya di bank syariah dan memindahkannya ke bank konvensional. Teori pemesaran konvensional mengatakan ini adalah sikap yang rasional karena dia mencoba menghindar dari situasi yang kurang menguntungkan. Namun, sebenarnya ini juga bisa dikatakan cara berfikir emosional, karena hanya mempertimbangkan keuntungan dunia, tetapi mengabaikan keuntungan akhirat.

 Sebaliknya, seorang nasabah yang-menurut sebagian pihak-emosional karena mengedepankan nilai-nilai ajaran agamanya (Islam) dalam setiap pengambilan keputusan investasi, sebenarnya mempunyai dua perspektif waktu. Pertama, perspektif waktu sekarang, yaitu ketika ia masih hidup di dunia. Kedua, perspektif waktu setelah mati, yaitu periode sejak nasabah meninggal atau kehidupan alam kubur sampai dengan waktu saat manusia akan dihitung amal baik dan buruknya selama hidup di dunia (dihisab).

Adanya perspektif waktu setelah mati pada nasabah Muslim ini dapat menjelaskan mengapa seorang nasabah bank syariah bahka bisa menerima keuntungan yang nilainya lebih kecil sepanjang hal itu halal.
 Memang, praktik bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional), ke emosional, dan akhirnya ke spiritual. Pada akhiirnya, konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Di level intelektual, pemasaran memang menjadi seperti “robot” dengan mengandalkan kekuatan logika dan konsep-konsep keilmuan.

Di level intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding, dan sebagainya. Kemudian, di level emosional, kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Di sini pelanggan dilihat sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Jika di level intelektual otakl kiri si pemasar paling berperan, di level emosional otak kananlah yang lebih dominan. Jika di level intelektual pemasaran layaknya “robot”, di level emosional pemasaran menjadi seperti “manusia” yang berperasaan empatik. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara lain experiental marketing dan emotional branding

Namun, di masa kini dan di masa datang, apalagi setelah pecahnya skandal keuangan di Amerika Serikat dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa, seperti enron, WordCom, atau Global Crossing, era pemasaran telah bergeser lagi ke arah spiritual marketing.

Di level spiritual ini, pemasaran sudah disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa” (“calling”).  Di sini praktik pemasaran dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki dan dijalankan dengan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap sesama manjadi dominan.
Jika di level intelektual bahasa yang digunakan adalah “bahasa logika” dan di level emosional adalah “bahasa rasa”, maka di level spiritual digunakan “bahasa hati”. Kata hati nurani adalah lentera penerang yang akan menunjukkan ke mana arah yang akan dituju. Nurani adalah “senjata pamungkas” Anda untuk memenangkan persaingan.

Kasus runtuhnya sejumlah perusahaan di atas menunjukkan bahwa sehebat apapun strategi bisnis Anda, secanggih apa pun tools pemasaran yang Anda jalankan, semuanya tak akan ada gunanya kalau tidak dilandasi nilai-nilai spiritual yang kokoh. Kasus manipulasi akuntansi terbesar dalam kegiatan dalam sejarah bisnis Amerika Serikat tersebut menunjukan betapa semakin tingginya kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen, dan semakin majunya perangkat regulasi ternyata tidak menjadikan praktik bisnis menjadi semakin dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan tanpa etika, tanpa nilai-nilai moral, dan tanpa pegangan.

 Bumi sudah menjadi renta, carut-marut, dan dan amburadul akibat ulah manusia. Namun, manusia-manusia itu sendiri agaknya masih saja sama, masih enggan bertobat dan kurang menyesali kesalahannya, kata Andrias Harefa dalam buku Kepemimpinan Kristiani.2

Praktik bisnis sakit yang selama puluhan tahun melingkupi keseharian kita semakin menyadarkan kita bahwa kejujuran, etika, dan moral dalam suatu bisnis menjadi suatu keharusan. Pada lingkungan bisnis yang tidak jarang mengabaikan etika, kejujuran merupakan resource yang semakin langka bagi perusahaan. Dan tak hanya langka, ia merupakan resource yang bisa di-leverage menjadi komponen penting daya saing suatu perusahaan. Dari sinilah, kemudian muncul paradigma baru dalam pemasaran, yan dilandasi oleh kebutuhan yang paling dasar, yaitu kejujuran, moral, dan etika dalam bisnis. Inilah spiritual marketing.

Spiritual marketing merupakan tingkatan tertinggi. Orang tidak semata-mata menghitung lagi untung atau rugi, tidak terpengaruh lagi dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Panggilan jiwalah yang mendorongnya, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai spiritual. Spiritual dalam pengertian Kristiani, mungkin seperti yang dikatakan Robelt L. Wise dalam bukunya, Spiritual Abundance3, ..sesuatu yang tidak bisa saya lihat dengan mata saya, dan hanya bisa saya rasakan dalam hati saya, atau sesuatu yang seperti itu.”

Dalam bahasa syariah, spiritual marketing adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena di dalam keseluruhan prosesnya tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah (bisnis syariah), ia mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi dalam pemasaran atau muamalah. Hal ini adalah refleksi dari ikrar seorang Muslim ketika ia beribadah, “Qul inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin” (Ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata.”4

Seorang muslim yang baik, dalam transaksi muamalahnya-dalam hal ini pemasaran baik sebagai pemimpin perusahaan, pemilik, pemasar, pesaing, maupun sebagai pelanggan-hendaklah prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, etika, dan moralitas menjadi nafas dalam setiap bentuk transaksi bisnisnya. Karena itu, bagi seorang Muslim, setiap hari jumat di masjid, ia selalu diingatkan khatib dalam penutupan khutbahnya, agar senantiasa berbuat adil ketika melakukan transaksi bisnis, senantiasa jujur, dan berbuat baik kepada siapa saja, keluarga maupun orang lain, menghindari perbuatan-perbuatan tercela, apalagi permusuhan, baik dalam pergaulan bisnis maupun bermasyarakat secara umum. 

Ayat yang tak luput dibacakan dibacakan oleh khatib tersebut adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan kepada kaum karabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl [16]: 90).
Selain itu, dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insyaAllah menjadi ibadah di hadapan Allah swt. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi. Seperti kata Al-Quran, “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena  mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”




Sumber: Syariah Marketing, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula

»»  READMORE...

Rabu, 19 Oktober 2011

Bahasa Semit

Bahasa Semit adalah bahasa-bahasa yang dipergunakan bangsa-bangsa dari keluarga besar Sam beserta cabang-cabangnya. Ada tiga pendapat yang paling masyhur tentang negeri asal bangsa Semit,5 yaitu:
    1. Bangsa Semit berasal dari bagian Barat Daya Asia yakni negeri Hijaz, Yaman, Najd, dan sekitarnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah orientalis dari perancis, Renan dan Broclman dari Jerman.
     2.  Bangsa Semit berasal dari Babilonia. Yang berpendapat demikian ialah para sejarawan Arab dan beberapa ahli tafsir.
   3. Bangsa Semit berasal dari Kan’an. Ini merupakan pendapat sebagian ahli dari bangsa Yahudi karena chauvimisme, karena rasa kedengkian dan ambisi untuk kemegahan sejarahnya dan kelicikan bangsa israil.

Seperti halnya asal bangsa Semit, tentang rumpun bahasa Semit yang tertua pun ada beberapa pendapat. Ada yang berpendapat bahasa Babil, Bahasa Ibrani, dan Bahasa Arab. Berdasarkan penelitian, para orientalis berpendapat bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang paling dekat dengan bahasa Semit asli karena bahasa ini paling terlindungi dalam hal vokabuler dan tatabahasanya dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain dari rumpun Semit.

Ciri-Ciri Bahasa rumpun Semit6:
    1.  Memiliki huruf-huruf Ù‚ Ù€ ع Ù€ ظ Ù€ Ø· Ø® Ù€ Ø­ . Huruf-huruf tersebut terdapat pula dalam bahasa Jerman dan Yunani yang diambil dari bahasa Semit.
   2. Pengucapan suatu kata dalam rumpun Semit ditentukan oleh harakat, sedangkan dalam bahasa Arian ditentukan oleh huruf-huruf yang berkedudukan seperti harakat/vokal.
   3. Kata-kata turunan dalam bahasa Semit yang diambil dengan jalan isytiqaq/derivasi tetap teratur urutannya sesuai dengan asalnya meskipun telah mengalami penambahan, pengurangan atau perubahan bentuk.
    4. Dalam bahasa Semit, tak ada kata majemuk yang sebenarnya yang terdiri dari dua kata kecuali sedikit sekali karena proses aneksi.
   5. Bahasa Semit berbeda dengan bahasa Arian dalam menentukan gender untuk kata nama, kata ganti, dan dalam penyesuaian terhadap kata kerja yaitu cara pengaitan kata ganti dengan kata benda, dengan kata kerja maupun dengan partikel.
    6. Kebanyakan kata asli Semit tersusun dari tiga huruf konsonan tanpa vokal. Sebagian lagi huruf yang ketiga berupa vokal atau huruf kedua didobelkan.
    7.  Arti umum dari sebagian kata kerja yang terdiri dari tiga huruf dari bahasa Semit berpangkal pada arti yang terkandung dalam dua huruf pertama, sedangkan huruf yang ketiga berfungsi sebagai pembantu bagi arti –arti turunan.





»»  READMORE...

Selasa, 18 Oktober 2011

Induk Bahasa Manusia

Mayoritas ahli bersepakat bahwa banjir besar yang terjadi pada masa nabi Nuh telah melanda ke seluruh muka bumi. Tak seorang pun hidup setelah peristiwa itu kecuali nabi Nuh, keluarga dan sebagian anggota sukunya. Nuh memiliki empat orang anak yaitu Sam, Ham, Yaphet dan Yam. Yang terakhir inilah yang menolak naik kapal.4
Dari ketiga anak Nuh yang hidup tersebut, lahirlah berbagai ras di muka bumi ini. Keturunan sam menempati bagian barat, barat daya Asia, dan sebelah utara. Demikian pula tersebar ke Habsyi dan lembah Nil di Afrika.
Keturunan Ham menempati wilayah Afrika Utara, Timur dan beberapa daerah Afrika Tengan. Sedangkan keturunan Yaphet menjadi dua kelompok besar. Sebagian menuju Asia bagian tenggara menjadi nenek moyang bangsa Hindu dan Cina, dan sebagian yang lain menuju daerah utara dan barat menurunkan bangsa Eropa. Sebagian keturunan Yaphet ini dikenal dengan sebutan Arian yang berasal dari kata Sansekerta kuno yang berarti luhur dan mulia.
      Keturunan Sam dikategorikan sebagai Bangsa Semit/Samiyah. Yakni bangsa Arab, Yaman, Habsy,     Aramiyah (Punesia), Kan’anit(Ibrani), Babylonia dan Asyur.
Keturunan Hamit berkembang menjadi bangsa-bangsa Negroid, Nubian, Barbarian, Habsyi Kuno dan penduduk Mesir sebelum penaklukan Hexos.
Adapun keturunan Yaphet ialah bangsa-bangsa Eropa, Persi, Kurdi, Bukhara, Afgan, dan India.


»»  READMORE...

B. Perkembangan Bahasa

Ada tiga pendapat tentang perkembangan bahasa3:

1.       Mazhab Tauqif
a.   Bahasa tumbuh karena adanya wahyu dari Tuhan kepada Nabi Adam AS yaitu ketika Allah mengajarinya tentang     nama segala sesuatu. Kemudian Allah mengajukannya kepada malaikat, namun mereka tidak tahu. Lalu Adam menunjukkan nama-nama itu kepada malaikat. Menurut sebagian penganut mazhab ini, Allah telah mengajarkan kepada Adam semua bahasa umat manusia baik yang telah ada maupun yang akan terjadi.
b.      Yang dimaksud asma’ adalah lambang atau tanda dari sesuatu.
c.   Tiga jenis kata yaitu isim, fi’il dan harf cukup disebut asma’ yang merupakan pokok terpenting untuk menyandarkan semua pengertian.
d.      Asma’ adalah asal dari fi’il dan harf
e.       Yang dimaksud asma’ dalam ayat al-Qur’an adalah isim, fi’il dan harf.

2.       Mazhab Istilah
Mazhab ini banyak dianut oleh mayoritas ahli bahasa Arab. Menurut pendapat ini, sekelompok orang yang pandai mengajukan beberapa isyarat sensual, kemudian mereka menunjukkan isyarat itu dengan tuturan kata sebagai lambangnya. Mereka bekerja terus hingga selesai menetapkan semua kata dari suatu bahasa, dan kemudian mulailah menetapkan kata-kata bahasa yang lain atau ada golongan lain yang menetapkan bahasa itu.

3.       Mazhab Peniruan
Menurut mazhab ini, manusia pertama telah mulai mencari jalan untuk berkomunikasi dalam pergaulan antara antara anak-anak dan keluarganya. Ia mendapat inspirasi dari sesuatu di dalam pengadaan bahasa sebagai jalan yang paling mudah untuk berkomunikasi. Ia mulai dari menirukan, suara-suara yang masuk telinganya dalam lingkungan hidupnya seperti suara alam dari desiran bunyi pepohonan, gemerciknya air, desiran angin dan juga suara berbagai binatang seperti suara gagak, ringkik kuda, dan lainnya.


»»  READMORE...

BAB I. FIQHUL LUGHAH DAN PERKEMBANGAN BAHASA

          A.  Arti dan Tujuan Fiqhul-lughah
Secara makna bahasa, al-fiqhu berarti pengertiann, pengetahuan atau pemahaman dan al-Lughah bararti bahasa1. Oleh karena itu secara harfiyah, fiqhul-lughah diartikan sebagai pemahaman terhadap bahasa, yakni ucapan-ucapan yang mengerti oleh sekelompok manusia dan dengan itu pula mereka melahirkan maksud dan kehendaknya. Bahasa yang dimaksud di sini ialah bahasa Arab.
»»  READMORE...

Jumat, 14 Oktober 2011

4 Fungsi dan Peran Bank Islam

Berdasarkan filosofis serta tujuan bank Islam maka dirumuskan fungsi dan peran bank Islam yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntasi yang dikeluarkan oleh AAOIFFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Fungsi dan peran tersebut yaitu:
a. Manajer investasi, bank Islam dapat mengelola investasi dana nasabah 
b. Investor, bank Islam dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. 
c.   Penyedia jasa keuangan dan laulintas pembayaran, bank Islam dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya institusi perbankan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 
d.  Pelaksana kegiatan sosial. Sebagai suatu ciri yang melekat pada entitas keuangan Islam, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.

Dari fungsi dan peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bank Islam dengan nasabahnya baik sebagai dari investor maupun pelaksana dari investasi merupakan hubungan kemitraan, tidak seperti hubungan pada bank konvensional yangb bersifat debitur-kreditur.

»»  READMORE...

Tujuan, Fungsi dan Peran Bank Islam

Tujuan Bank Islam

Upaya pencapaian keuntungan setinggi-tingginya (profit maximization) adalah tujuan yang biasa dicanangkan oleh bank komersial, terutama bank-bank swasta. Berbeda dengan tujuan ini, bank Islam berdiri untuk menggalakkan, memelihara serta mengembangkan jasa serta produk perbankan yang berasaskan syariah Islam. Bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mendukung berdirinya aktivitas investasi dan bisnis-bisnis lainnya sepanjang aktivitas tersebut tidak dilarang dalam Islam. Prinsip utama bank Islam terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis transaksi; pelaksanaan aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan (equality), keadilan (fairness) dan keterbukaan (transparency); pembentukan kemitraan yang saling menguntungkan; serta tentu saja keuntungan yang didapat harus dari usaha dengan cara yang halal. Selain itu, ada satu ciri yang khas yaitu bank Islam harus mengeluarkan dan mengadministrasikan zakat guna membantu mengembangkan lingkungan masyarakatnya.
Walaupun demikian, sama seperti business entity lainnya, bank Islam tentu diharpakan dapat menghasilkan keuntungan dalam operasionalnya. Jika tidak, tentu bank Islam tersebut dapat disebut tidak amanah dalam mengelola dana-dana yang diinvestassikan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, selain bertujuan untuk mendapatkan keuntungan seperti institusi bisnis lainnya, maka bank Islam harus menyelaraskan antara tujuan profit dengan aspek moralitas islam yang melandasi semua operasionalnya.
Tujuan-tujuan tersebut dapat dilihat dari kata kunci misi-misi bank Islam yang ada seperti yang dirangkum di bawah ini, misalnya:
  • Sesuai syariah, pelayanan jasa keuangan, kemitraan yang menguntungkan (Faysal Islamic Bank of Bahrain)
  • Sesuai syariah, transkasi komersial yang menguntungkan, tumbuh dan berkembang (Bank Islam Malaysia Berhard)
  • Menciptakan kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan pada semua aktivitas ekonomi (Islami Bank Bangladesh Limited)
  • Sesuai syariah, jasa perbankan dan investasi (Kuwait Finance House)
  • Mempromosikan,memelihara, dan mengembangkan prinsip-prinsip syariah; menggalakkan investasi dan enterpreneur yang halal (Faysal Islamic Bank of Bahrain)
  • Sesuai syariah; penyediaan jasa perbankan, financing, dan investasi (Jordan Islamic Bank)
  • Sesuai syariah, profitable, social concern (Bank Muamalat Indonesia)
Fungsi dan Peran Bank Islam
Berdasarkan filosofis serta tujuan bank Islam maka dirumuskan fungsi dan peran bank Islam yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntasi yang dikeluarkan oleh AAOIFFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution). Fungsi dan peran tersebut yaitu:
a. Manajer investasi, bank Islam dapat mengelola investasi dana nasabah 
b. Investor, bank Islam dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. 
c.   Penyedia jasa keuangan dan laulintas pembayaran, bank Islam dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya institusi perbankan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 
d.  Pelaksana kegiatan sosial. Sebagai suatu ciri yang melekat pada entitas keuangan Islam, bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.

Dari fungsi dan peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara bank Islam dengan nasabahnya baik sebagai dari investor maupun pelaksana dari investasi merupakan hubungan kemitraan, tidak seperti hubungan pada bank konvensional yangb bersifat debitur-kreditur.


    »»  READMORE...

    Sejarah Kelahiran Bank Islam

    <Konsep, Produk dan implementasi Operasional BANK SYARIAH><Institute Banker Indonesia><Penerbit Djambatan>

    Hingga awal abad ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan implememntasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam lautan sistem ekonomi dunia yang tidak bisa melepaskan diri dari bunga. Walaupun demikian, gagasan tersebut terus berkembang meski secara perlahan. Beberapa uji coba terus dilakukan mulai dari bentuk proyek yang sederhana hingga kerjasama yang berskala besar. Dari upaya ini para pemrakarsa bank Islam dapat memikirkan untuk membuat infrastruktur sistem perbankan yang bebas bunga.

    Beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 merupakan tonggak sejarah perkembangan sistem perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung, dan pelayanan sosial. Pengenalan pelayanan sistem perbankan yang berdasarkan Islam yang dilakukan Mit Ghamr mendapat sambutan yang  hangat dari penduduk setempat. Hal ini terbukti dari jumlah nasabah yang pada akhir tahun  buku 1963/1964 tercatat sebanyak 17.560 menjadi sebanyak 251.152 pada akhir tahun buku 1966/1967. Jumlah deposito juga meningkat tajam dari LE 40.944 pada akhir tahun buku 1963/1967. Salah satu faktor yang menebabkan peningkatan adalah adanya rasa saling memiliki diantara masyarakat terhadap sistem ini. Namun sangat disayangkan, karena munculnya kekacauan politik pada masa itu, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran. Operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank sentral Mesir pada pertengahan akhir 1967. Hasilnya, prinsip dasar peniadaan bunga dalam setiap transaksi bank mulai dari diabaikan. Pada tahun 1971, di bawah pemerintahan Anwar Sadat , keinginan yang kuat untuk mewujudkan sistem perbankan yang bebas bunga kembali menggelora. Hal ini ditandai dengan didirikannya Nasser Social Bank yang mengambil alih bisnis yang bebas bunga yang dulu dilaksanakan oleh Mit Ghamr. 

    Walaupun Mit Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua sektor bisnis, keberadaannya telah membangunkan pemikir muslim seluruh dunia. Mereka mulai mempelajari dan mengkaji sistem operasional yang pernah dilakukan Mit Ghamr. Kesulitan yang pertama muncul adalah terbatasnya literatur serta guideline hukum syariah. Di samping itu, kesulitan yang tak kalah pentingnya adalah susahnya menemukan ahli yang mengerti baik dari sisi syariah maupun dari ilmu ekonomi. 

    Tonggak sejarah lainnya bagi perkembangan sistem perbankan Islam yaitu dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB). Pendirian ini melalui proses yang panjang yang dimualai dari sidang menterimenteri luar negeri nagara-negara OKI di Karachi-Pakistan pada Desember 1970. Dalam sidang itu delegasi Mesir mengajukan proposal pendirian bank Islam yang mendapat respon positif dari 18 negara muslim pada waktu itu. Negara-negara itu setuju untuk mengkaji lebih jauh proposal tersebut. Dalam forum sidang yang sama di Benghazi- Libya pada Maret 1973, proposal tersebut kembali diagendakan. Sidang akhirnya memutuskan bahwa OKI harus memiliki abadan khusus yang menangani masalah ekonomi dan keuangan. Pada bulan juli 1973, komite ahli pendirian bank Islam bertemu di Jeddah, Saudi Arabia. Adapun rencana pendirian bank yang sangat ditunggu-tunggu berupa anggran rumah tangga di bahas pada pertemuan kedua mereka pada Juni 1974. Akhirnya pada Oktober 1975, IDB secara resmi didirikan dengan modal awal 2 miliar dinar atau ekuivalen 2 miliar SDR. Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.

    Berdirinya IDB telah menjadi inspirasi dan motivasi bagi negara-negara muslim untuk mendirikan lembaga keuangan Islam. IDB banyak menerima permintaan bantuan untuk menyiapkan dan mendirikan lembaga-lembaga tersebut. Oleh karena itu komite ahli IDB telah bekerja keras menyusun panduan persiapan pendirian, peraturan, dan pengawasan bank Islam. Hingga saat ini tidak kurang dari 1. 500 lembaga keuangan Islam telah tersebar, baik di negara-negar Muslim seperti Mesir, Sudan, Saudi Arabia, Jordania, Kuwait, Bahrain, UAE, Tunisia, Pakistan, India, Iran, Malaysia, Bangladesh, Turki dan Indonesia maupun negara-negara barat seperti di Luxemburg, Inggris, Swiss, Denmark, Amerika dan Australia serta New Zealand.


    »»  READMORE...

    Minggu, 09 Oktober 2011

    Drama and Arabic Drama

    The theoretical beginning of the European dramatic tradition which Idris is confronting in his comments are generally agreed to be found in the Poetics of Aristotle where he tells his readers that drama is  based in the principle of ‘representation’ (mimesis), a process that involves impersonation. An expansion, indeed a corollary, of this classic definition is represented by the notion that, in order to fulfil its dramatic funtion to the full, a play needs to be acted, performed; such a  process requires a place where the drama may be presented – a theatre of one kind or another- and an audience who will engage themselves in the perfomance with both their eyes and ears. For the most part, the ‘action’ will involve actors performing on stage by using gesture and dialogue as means of representing the needs and emotions of characters in order to ‘show’ the import of play being presented. While in the Greek tradition the relationship the stimulus of the audience’s empathy followed by a sense of catharsis, more recent trends, particularly those associated with the plays and productions of Piscator and Brecht, have andeavoured to prevent such empathy, in fact, to distance the audience from the action so that the perfomance can fulfil a more educational purpose.

    Within the context of that broad concept known as society the history of drama shows that the genre has managed to fulfil a number of functions, including those of liturgy, entertainment, and education. In origin the genre was connected to religious or communal festivals, as in the case of much Greek and Roman drama. In a more popular vein, the drama was co-opted by medieval Christianity through the often lengthy cylces of plays recorded in the archives of such English cities as Chester, Wakefield, and York, or in the Oberammergau Passion play. Above all, the very fact that drama is the most public of all literary genres, a perfomance, an act of impersonation and showing in front of an audience, has also made it in many, if not most, cultures and historical periods the focus of political oversight- in a word, censorship.

    Within theWestern tradition of drama the performance element gravitates towards the formalities and conventions of the theatre as stucture, something that led Brecht to frame part of his own dramatic theory in terms of the effect of the theatre’s ‘walls’ on audience response to the perfomance. In the same  way the script of the play has assumed the status of the text. The works of Sophocles, Racine, Shakespeare, Goethe, Pirandello, and Chekhof are regarded as major contributions to the literacy heritage and have joined the list of canonical works of Western culture, a status confirmed in numerous ways, not least by their presence on the reading list of national school curricula...

    It is as part of the nine teeth-century cultural renaisaance in the Arab world that the literary community encounters and adopts the generics tradition that we have just outlined. The pre-modern Arabic literary heritage does not provide us with exmples of types of drama that drama can be conveniently linked to the Western tradition, but, as Yusuf Idris’s remarks cited above imply, there are a number of indigenous genres which exhibit dramatics qualities. Mirroring the combination of religius memorial and public perfomance that marks the medieval mysteri plays mentioned above, a first example can be provided by a perfomance tradition that survives from great antiquity till the present day. Within the Shi’i communities of the Middle east (and thus especially in Iran), there is a tradition of the ta’ziyah ( a term implying both mourning and consolation), a passion play which serves as a commemoration of the death of the Prophet Muhammad’s grandson, al-Husayn, at the battle of Karbala in AD 680. Perfomances of this particular form of drama take place during the Islamic month of Muharram and consist of a highly ritualised public performance.


    The period preceding the nineteeth-century renaissance in the Arab world-an era that, as we noted in Chapter 1 above, spans no less than five centuris-witnessed an efflorescence of popular genres, many of which can be considered as dramatic. Prime amongst these was the shadow play in which coloured figures were manipulated by wires from behind a transparent screen. We are fortunate to possess the manuscript of three ‘plays’ composed by the Egyptian Shams al-din Muhammad ibn Daniyal (d. 1311), for this particular form. It is clear from the introduction to his plays that the genre was not a new one in his day; one of the purposes that ibn Daniyal has in recording these examples is to provide fresh materials for a medium where much of the material has become hackneyed. The plays themselves clearly fall into the realm of comedy, intending to show up the very worst foibles of mankind, most particularly where matters sexual are concerned. The contents are bawdy to the point of obscenity. In one play, Tayf al-khayal, the chief character is named Prince Wisal, a name that implies sexual congres. Farcical and stacological effects are provided by having the characters stumble, babble, and fart on stage. In another play, ‘Ajib wagharib, every form of profession, particularly those of the less desirable elements of the populace, is explored.

    A particularly popular and widespread form of this types of this presentation was the genre known as karagz. This genre bears a very close resemblance to the traditional Punch and Judy show, perhaps not so common at the end of the twentieth century as it was in this writer’s childhood. In imitation of what would appear to be a Chinese tradition, a single performer would wrap himself in a tent-like structure and proceed to manipulate hand-held puppets on a stage above his head. A number of sketches involving different characters might be involved, but the basic hero would always be  Karagz- Everyman- the bumbling and boisterous simpleton, who would endeavour to outsmart any pretentious hypocrite who chose to stand in this way, usually resorting to beatings as the preferred mode of resolving disputes.

    One final aspect of the ‘dramatic’ during the pre-modern period concerns a particular function that has been much exploited by modern dramatics: the hakawati or story teller. As Edward Lane records in Manners and Customs of the Modern Egyptians, his unique account of Cairene life in the 1860s, story-tellers would accompany themselves on musical instruments and would gesticulate at appropiate points in the narrative. Taht several contemporary playrights should invoke the figure of tha hakawati in order to provide a Brechtian distancing mechanism to their dramas and that a prominent group of Palestinian actors should call themselves th Hakawati Troupe is clearly no accident.
    »»  READMORE...

    Sabtu, 08 Oktober 2011

    Drama

    From An Introduction to Arabic Literature
    ©2000 Cambridge University Press
    Reprinted with the permission of Cambridge University Press

    INTRODUCTION
    In 1963 the prominent Egyptian short-story writer and play wright Yusuf Idris chose to publish a series of articles in the Cairene literary monthly, Al-Katib, under the title, ‘Toward an Egyptian Theatre’. Whatever yardstick one may wish to use in deciding what the term ‘theatre’ and ‘drama’ may imply in the Arab world context- a point we will discuss in detail below- there can be littlle argument about the fact that by 1963 an Egyptian tradition of modern Arabic drama was well over a century old. Surveying the development of the drama genre up to that point, Idris suggest that, while the processes of translation, ‘Arabicisation’, and adaption may have been able to transfer certain elements of drama into the Egyptian context, and indeed while certain Egyptian playwrights may have produced accomplised works that made use of local themes, the end result of all this creative activity was still culturally derivative. There remained a disjuncture between Arabic drama in Egypt and the indigenous cultural tradition. Were there, Idris wondered, no examples of drama to be found within the heritage of the Egyptian people? Idris’s response to these question took the form of a remarkable and innovative play, Farafir, that was performed in 1964. However, in the context of the series of articles he continued by exploring the nature of the dramatic in the Middle East and the West and the kinds of drama perfomance that  had been popular in the pre-modern period of Middle Eastern history. The questions that he raised at that time and the answers he provided constitute a conveniently modern point of reference through which to consider the nature of drama in its Arab word context and the types of dramatic event that were the precedents to the modern tradition.
    »»  READMORE...

    Senin, 03 Oktober 2011

    Nama dan Sifat Al-Qur'an

    Allah menamakan Al-Qur’an dengan banyak nama:

    • ·         Al-Qur’an
    “Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Israa’: 9)

    • Al-Kitab
    “Telah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab yang di dalamnya terdapat kemuliaan bagimu.” (Al-Anbiyaa’: 10)

    •  Al-Furqan
    “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamban-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada penduduk alam.” (al-Furqan: 1)

    • Adz-Dzikr
    “Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kamilah pula yang akan menjaganya. (al-Hijr: 9)

    •  At-Tanzil
    “Sesungguhnya dia itu adalah Tanzil (kitab yang diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’araa’ : 192)

    Al-Qur’an dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama lainnya. Dalam hal ini, Muhammad Abdullah Darraz berkata, “Dinamakan Al-Qur’an karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan Al-Kitab karena ia ditullis dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang relevan sekali dengan kenyataannya.”

    Penamaan Al-Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat, memang sepatutnya Al-Qur’an dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan dengan baik. Dengan demikian, apabila di antara salah satunya ada yang keliru, maka yang lain akan meluruskannya. Tetapi kita tidak bisa hanya menyandarkan kepada hafalan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi ke generasi sesuai aslinya. Sebaliknya, kita juga tidak bisa menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang shahih dan mutawatir.

    Dengan cara pemeliharaan ganda semacam ini yan telah Allah tanamkan ke dalam jiwa umat, dan demi mengikuti Nabinya, maka Al-Qur’an tetap terjaga dengan kokoh. Yang demikian sebagai wujud dari janji Allah yang menjamin terpeliharanya Al-Qur’an, seperti firman-Nya,

    “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami yang benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr : 9)

    Dengan begitu, Al-Qur’an tidak mengalami perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab sebelumnya.1

    Di antara hikmahnya adalah untuk menegaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya bersifat temporer (berlaku sementara). Adapun Al-Quran diturunkan untuk membetulkan dan mengontrol kitab-kitab yang sebelumnya. Dalam kitab-kitab itu mengandung kebenaran yang pasti, tetapi Allah menambahnya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Al-Qur’an menjalankan fungsi kitab-kitab sebelumnya., tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti samapai Hari Kiamat. Dan apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan memeprmudah jalannya ke arah itu, karena Dia Maha Bijaksana dan Mahatahu. Ini alasan yang relevan.

    Allah SWT, melukiskan Al-Qur’an dengan banyak sifat, di antaranya:
    •  Nur (cahaya)
    “Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu bukti kebenaran dari Tuhan kamu, dan Kami pun telah menurunkan kepada kamu (Al-Qur’an sebagai) nur (cahaya) yang menerangi.” (An-Nisaa’: 174)

    •  Mau’izhah (nasehat), syifa (obat), huda (petunjuk), dan rahmah (rahmat)
    "Wahai umat manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu Al-Qur’an yang menjadi penasehat dari Tuhan kamu, penawar bagi penyakit-penyakit batin yang ada di dalam dada kamu, petunjuk hidup (way of life), dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. “(Yunus: 57)

    • Mubin (yang mejelaskan)
    “Wahai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami (Muhammad ) dengan menerangkan kepada kamu banyak dari (keterangan-keterangan dan hukum-hukum) yang telah kamu sembunyikan dari Kitab suci, dan ia memaafkan kamu (dengan tidak mengungkapkan) banyak perkara ( yang kamu sembunyikan). Sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya kebenaran ( Nabi Muhammad) dari Allah, dan sebuah Kitab (Al-Qur’an) yang memberi penjelasan.” (Al-Maa’idah: 15)

    • Al-Mubarak (yang diberkati)
    “Dan inilah Kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, lagi mengesahkan kebenaran (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelumnya, supaya engkau memberi peringatan kepada penduduk Ummul-Qura (Makkah) serta orang-orang yang tinggal di sekelilingnya; orang-orang yang beriman kepada hari akhirat, mereka beriman kepada Al-Qur’an, dan mereka tetap mengerjakan dan memelihara shalatnya. “(Al-An’am: 92)

    • Busyra (berita gembira)
    “Katakanlah (hai Muhammad); barangsiapa memusuhi Jibril maka sesungguhnya dialah yang menurunkan Al-Qur’an ke dalam hatimu dengan izin Allah, yaitu kitab yang mengesahkan kebenaran kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta menjadi petunjuk dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 97)

    • ·         Aziz (yang mulia)
    “Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap Al-Qur’an ketika sampai kepada mereka, (akan ditimpa adzab yang tak terperikan); Al-Qur’an itu sesungghnya sebuah Kitab Suci yang mulia.” (Fushshilat: 41)

    • Majid (yang dihormati)

    “Bahkan apa yang mereka dustakan itu adalah Al-Qur’an yang dihormati.” (Al-Buruj: 21)


    • Basyir (pembawa berita gembira), dan Nadzir (pemberi peringatan)

    “Sebuah Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya yaitu; Al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui; Ia membawa berita yang menggembirakan (bagi orang-orang yang beriman) dan membawa peringatan (kepada orang-orang yang ingkar...(Fushshilat: 3-4)


    »»  READMORE...

    Definisi Al-Qur'an

    Qara’a memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan kata teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu akar kata(masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan. Allah menjelaskan,

    “Sesungguhnya kamilah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu."(Al-Qiyamah:17-18)

    Qur'anah di sini berarti qira'ah (bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah akar kata (masdar) menurut wazan (tasrif) dari kata fu’lan seperti “ghufran” dan “syukran.” Anda dapat mengatakan; qara’tuhu, qur’an, qira’atan dan qur’anan, dengan satu makna. Dalam konteks ini mqru’ (yang dibaca, sama dengan qur’an) yaitu satu penamaan isim maf’ul dengan masdar.

    Secara khusus, Al-Quran menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. maka, jadilah ia sebagai sebuah identitas diri.

    Dan, sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tetapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka, jika Anda mendengar satu ayat Al-Quran dibaca misalnya, Anda dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Quran.

    “Dan apabila Al-Quran itu dibacakan, maka dengarlah bacaannya dan diamlah. Supaya kamu mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)

    Menurut sebagian ulama, penamaan kitab ini dengan nama Al-Quran diantara kitab-kitab Allah itu, karena kitab ini juga mencakup esensi dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup esensi dari semua ilmu. Hal itu diisyaratkan dalam firmannya,

    “Dan (ingatkanlah tentang) hari dimana Kami bagkitkan di kalangan tiap-tiap umat, seorang saksi bagi mereka, dari golongan mereka sendiri; dan Kami menjadikanmu (hai Muhammad) untuk menjadi saksi atas mereka ini; Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran yang mengandung penjelasan bagi segala sesuatu, dan menjadi hidayah, rahmat dan berita yang menggembirakan, bagi orang-orang Islam.”(An-Nahl: 89)

    “Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tak satu pun Kami lupakan di dalam kitab Al-Quran ini; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan).” (A-An’am:38)

    Sebagian ulama berpendapat, kata Al-Quran itu pada asalnya tidak berhamzah –sebagai kata jadian-, mungkin karena ia dijadikan sebagai satu nama bagi suatu firman yang diturunkan kepada Nabi SAW, bukan kata jadian yang diambil dari qara’a, atau mungkin juga karena ia berasal  dari kata quri’a asy-syai’u bisy-syai’i yang berarti menggandengkan sesuatu dengan lainnya, atau juga berasal dari kata qara’in, karena ayat-ayatnya saling menyerupai. Maka berarti huruf nun yang ada di akhir kalimat itu asli. Namun pendapat ini masih dianggap kurang valid, dan yang shahih adalah pendapat yang pertama.

    Al-Qur’an memang sukar dibatasi dengan definisi-definisi rasional yang memiliki jenis-jenis, bagian-bagian dan ketentuan-ketentuannya yang khas, yang mana dengannya pendefinisiannya dapat dibatasi secara tepat. Tapi batasan yang tepat itu dapat dihadirkan dalam pikiran atau realita yang dapat dirasa, misalnya Anda memberikan isyarat tentangnya dengan sesuatu yang tertulis dalam mushaf atau yang terbaca dengan lisan. Lalu, Anda katakan Al-Quran adalah apa yang ada diantara dua kitab, atau Anda katakan Al-Quran adalah berisi bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillah...sampai dengan min al-jinnati wa an-nas.

    Para ulama menyebutkan definisi yang khusus, berbeda dengan lainnya bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang pembacaannya menjadi suatu ibadah. Maka kata “kalam” yang termaktub dalam definisi tersebut merupakan kelompok jenis yang mencakup seluruh jenis kalam, dan penyandarannya kepada Allah yang menjadikannya kalamullah, menunjukkan secara khusus sebagai firman-Nya, bukan kalam manusia jin, maupun malaikat.

    Kalimat “al-munazzal” (yang diturunkan), berarti tidak termasuk kalam-Nya yang sudah khusus menjadi miliknya.

    “Katakanlah (hai Muhammad), “Kalaulah semua jenis lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sudah tentu akan habis, kering lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku. Walaupun Kami tambah lagi dengan lautan yang sebanding dengannya, sebagai bantuan.”(al-Kahfi: 109)

    Dan sekiranya segala pohon yang ada di bumi menjadi pena, dan segala lautan (menjadi tinta), dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, niscaya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah itu ditulis. Sesungguhnya Allah Mahakuasa, lagi Maha Bijaksana.” (Luqman: 27)

    Batasan dengan kata “kepada Muhammd” menunjukkan, Al-Quran itu tidak pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti Taurat dan injil.

    Adapun "al-Muta'abbad bitilawatihi" (membacanya adalah ibadah) mengecualikan hadits-hadits ahad dan qudsi. jika kita katakan misalnya; ia diturunkan dari sisi Allah dengan lafadznya –sebab itu pembacaannya dianggap satu ibadah artinya membacanya di adalam shalat atau lainnya termasuk ibadah. Tidak demikian halnya dengan hadits ahad dan hadits qudsi.
    »»  READMORE...

    Pengikut