Selasa, 27 September 2011

Harta dan Ekonomi Dalam Pandangan Islam

Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan(al-An’aam: 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (Adz-Dzaariyaat: 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat ‘sistem kehidupan’ dan wasilah al-hayat ‘sarana kehidupan’, sebagaimana firman-Nya,
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi, dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan, diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Luqman: 20)

Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah(mandub), mubah, makruh, atau haram.

Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (al-haajat adh-dharuriyyah).

Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl:97).
Sebaliknya, menolak atura itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa: 124-126)

Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(al-Baqarah: 29)
Sebagaimana keterangan di atas, Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang besar.” (al-Hadiid: 7)
..dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruiakan-Nya kepada kalian...” (an-Nuur: 33)

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda,
“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan.”

Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1. Harta sebagai amanah (titipan, as a truth) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.

2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlabih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, "Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali Imran:14) Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri (al-'Alaq:6-7)

3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak(al-anfal: 28)

4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak, sedekah (at-Taubah: 41, 60; Ali Imran:133-134)

  Ketiga: pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha(amal) atau mata pencaharian (ma'isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal.

"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya...(al-Mulk:15)

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.."(al-Baqarah: 267)

Ayat yang semakna akan kita temukan pada surah at-Taubah: 105, al-Jum'ah;10, juga dikemukakan dalam beberapa hadits, antara lain berikut ini.
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah." (HR Ahmad)

"Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain."(HR Thabrani)

Keempat: dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (at-Takaatsur: 1-2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya) (al-Munaafiquun: 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).

Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa'idah:90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maaidah: 38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah: 188), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad).


 H
H
»»  READMORE...

12 Adab Membaca Al-Qur'an

Dianjurkan bagi orang yang membaca Al-Quran memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Membaca Al-Quran sesudah berwudhu karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadats kecil.
  2. Membacanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga keagungan membaca Al-Quran.
  3. Membacanya dengan khusyuk, tenang dan penuh hormat.
  4. Bersiwak sebelum mulai membaca.
  5. Membaca ta’awudz pada permulaannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Apabila kamu hendak membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”(AN-Nahl: 98)
Bahkan sebagian ulama mewajibkan membaca ta’awud ini.

6. Membaca basmallah pada permulaan setiap surat, kecuali surat Bara’ah(At-Taubah), sebab basmallah termasuk salah satu ayat Al-Quran menurut pendapat yang kuat.
7.  Membacanya dengan tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan jelas serta memberikan hak setiap huruf, seperti membaca mad dan idgham. Allah SWT berfirman,
    “Dan bacalah Al-Quran itu dengan sebaik-baiknya.”(Al-Muzammil:4)
    Diriwayatkan dari Anas, bahwa ia ditanya tentang qira’at Rasulullah. Dia menjawab, “Qira’at beliau panjang.” Kemudian ia membaca Bismillahir rahmaanir rahiim, dengan memanjangkan Allah, memanjangkan Rahman dan memanjangkan Rahim.1)

    Dari Ibnu Mas’ud, seorang lelaki berkata kepadanya, “ Sesungguhnya aku biasa membaca Al-Mufashshal dalam satu rakaat.” Maka Ibnu Mas’ud bertanya, “Demikian cepatkah engkau membaca Al-Quran seperti layaknya membaca syair saja? Sesungguhnya akan ada kaum yang membaca Al-Quran, namun Al-Quran itu tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Padahal kalau bacaan sampai meresap dalam hati tentu sangat bermanfaat.2)

    Berkata Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan, “Kesempurnaan tartil adalah lafadz-lafadznya dibaca dengan jelas huruf-hurufnya dan tidak mengidghamkan satu huruf dengan huruf yang lain. Ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah minimal tartil. Sedang maksimalnya adalah membaca Al-Quran sesuai dengan fungsi dan maknanya. Bila membaca ayat tentang  ancaman, hendaklah dibaca dengan nada ancaman pula. Dan bila membaca ayat yang berisi penghormatan (kepada Allah), maka hendaklah membacanya dengan penuh hormat pula.”

    8. Merenungkan ayat-ayat yang dibacanya. Cara pembacaan seperti inilah yang sangat dikehendaki dan dianjurkan, yaitu dengan mengonsentrasikan hati untuk memikirkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibacanya dan berinteraksi kepada setiap ayat dengan segenap perasaan dan kesadarannya baik ayat itu berisikan doa, istighfar, rahmat maupun azab.
      “Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya.” (Shad: 29)

      Diriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata, “ Pada suatu malam saya melakukan shalat bersama Nabi. Beliau membaca surat Al-Baqarah, diteruskan dengan surat An-Nisaa’  lalu disambung dengan surat Ali-Imran, semuanya dibaca dengan tartil, jelas dan perlahan. Apabila beliau menemui ayat tasbih, maka beliau bertasbih. Bila melewati ayat ta’awudz, maka beliau pun membaca ta’awudz.1)

      9. Meresapi makna dan maksud ayat-ayat Al-Quran, yang berhubungan dengan janji maupun ancaman, sehingga merasa sedih dan menangis ketika membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan ancaman karena takut dan ngeri, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”(Al-Isyraa’: 109

        Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud disebutkan bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW berkata kepadaku, “Bacakanlah Al-Quran kepadaku.’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, haruskah aku membacakannya kepadamu, sedang Al-Quran itu diturunkan kepadamu? Beliau menjawab, ‘Ya, aku senang mendengarkan bacaan Al-Quran itu dari orang lain.’ Lalu aku pun membaca surat An-Nisaa. Ketika sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan kamu(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu?” Beliau berkata, “Cukup sampai di sini saja.’ Lalu aku berpaling kepada beliau, maka kulihat kedua mata beliau mencucurkan air mata. 1

        Dalam Syarh Al-Muhadzdzab disebutkan, “Cara untuk bisa menangis di saat membaca Al-Quran ialah dengan memikirkan dan meresapi makna ayat-ayat yang dibaca. Seperti yang berkenaan dengan ancaman berat, siksa yang pedih, perjanjian, kemudian merenungkan betapa dirinya telh melalaikannya. Apabila cara ini tidak dapat membangkitkan perasaan sedih, penyesalan dan tangis, maka keadaan demikian harus disesali pula dengan menangis karena hal itu adalah suatu musibah.”

        Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,
        “Di akhir zaman-atau pada umat ini- akan lahir sekelompok orang yang membaca Al-Quran, namun tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Apabila kamu melihat atau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah!”

        10. Membaguskan suara dengan membaca Al-Quran, karena Al-Quran adalah hiasan bagi suara, dan suara yang bagus lagi merdu akan lebih berpengaruh dan meresap dalam jiwa. Dalam sebuah hadits dinyatakan,
          “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu yang merdu.” 2

          11. Mengeraskan bacaan Al-Quran, karena membacanya dengan suara jahar(keras) lebih utama. Di samping itu, juga dapat membangkitkan semangat jiwa, aktivitas baru, memalingkan pendengaran kepada bacaan Al-Quran, membawa manfaat bagi para pendengar serta mengonsentrasikan segenap perasaan untuk lebih jauh memikirkan, memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat yang dibaca itu. Tetapi bila dengan suara jahar itu dikhawatirkan timbul rasa riya, atau akan mengganggu orang lain, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, maka membaca Al-Quran dengan suara pelan adalah lebih utama. Bersabda Rasululah SAW,
            “Allah tidak mendengarkan sesuatu sebagaimana Dia mendengarkan suara merdu Nabi yang melagukan Al-Quran dengan suara keras.”1

            12. Para ulama berbeda pendapat tentang mambaca Al-Quran dengan melihat langsung kepada mushaf dan membacanya dengan hafalan, manakah yang lebih utama? Dalam hal ini diantara mereka terdapat tiga pendapat.1)

            Pertama, membaca langsung dari mushaf adalah lebih utama, sebab melihat kepada mushaf pun merupakan ibadah. Oleh karenanya membaca dengan melihat itu mencakup dua ibadah, yakni membaca dan melihat.  

            Kedua, membaca di luar kepala lebih utama, karena hal ini akan lebih mendorong kepada perenungan dan pemikiran makna dengan baik. Pendapat ini dipilih oleh Al-izz bin Abdissalam. Lebih lanjut ia mengatakan, “ Ada yang berpendapat bahwa membaca Al-Quran secara langsung dari mushaf itu lebih utama, karena hal ini mencakup perbuatan dua anggota yaitu lisan dan penglihatan, sedang pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan. Pendapat demikian ini tidak benar, karena tujuan utama membaca Al-Quran adalah tadabbur (memikirkan dan merenungkan), berdasarkan firman Allah, “Supaya mereka merenungkan(tadabbur) ayat-ayatnya.”( Shad:29) Biasanya , melihat mushaf itu akan mengganggu maksu tersebut. Oleh karena itu, maka pendapat di atas dipandang lemah, tidak kuat.”

            Ketiga, bergantung pada situasi dan kondisi individu masing-masing. Apabila membaca dengan hafalan lebih dapat menimbulkan perasaan khusyuk, pemikiran, perenungan, dan konsentrasi terhadap ayat- ayat yang dibacanya daripada membacanya melalui mushaf, maka membaca dengan hafalan lebih utama. Tetapi bila keduanya sama maka membaca dari mushaf adalah lebih utama.

            »»  READMORE...

            Senin, 26 September 2011

            Kitab-Kitab Tafsir Termasyhur di Era Modern

            <PENGANTAR STUDI ILMU AL-QURAN><SYAIKH MANNA' AL-QATHTHAN>

            Para Mufassir terdahulu telah menyajikan kepada kita kitab-kitab tafsir yang dapat diakes sesuai dengan kemampuan mereka, baik yang manqul maupun ma’qul, dengan pendekatan kebahasaan, balaghah, nahwu, fikih dan madzhabnya, madzhab kalam, dan filsafat. Setelah itu semangat dan kreativitas generasi berikutnya mulai melemah sehingga apa yang dapat mereka lakukan hanya seputar kerja talkhis(meringkas), menukil, melemahkan atau menguatkan apa yang telah ada.
            Namun ketika klebangkitan ilmu pengetahuan di abad modern tiba, dampaknya juga terasa kepada kebangkitan ilmu keagamaan, khususnya di bidang tafsir. Berikut ini beberapa contoh tafsir yang lahir pada abad tersebut:
            1.       Al-Jawahir fi Tafsir Al-Quran
            Syaikh Thanthawi Jauhari adalah seorang yang sangat tertarik dengan keajaiban-keajaiban alam. Profesinya sebagai pengajar pada sekolah Dar Al-Ulum Mesir. Dalam proses mengajarnya, ia menafsirkan beberapa ayat Al-Quran untuk para siswanya, disamping itu ia telah menulis artikel di beberapa mass media,kemudian menerbitkan karyanya di bidang tafsir.

            Dalam Jawahir fi Tafsir Al-Quran yang ditulisnya, ia sangat memberikan perhatian besar pada ilmu-ilmu alam dan keajaiban berbagai makhluk. Menurutnya, di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat ilmu pengetahuan yang jumlahnya lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat. Ia menganjurkan umat Islam agar memikirkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu alam(al-‘ilmu al-kauniyah-natural sciences), mendorong mereka untuk mengamalkannya, baik untuk kepentingan masa kini maupun nanti. Baginya ayat-ayat kauniyah ini harus lebih diperhatikan dari ayat-ayat yang lain, bahkan dari kewajiban-kewajiban agama sekalipun. Mengapa kita tidak mengamalkan ayat-ayat ilmu pengetahuan alam sebagaimana para pendahulu kita? Akan tetapi saya mengucapkan alhamdulillah, karena kini Anda telah dapat memabaca tafsir ini, yang mana mempelajarinya lebih utama daripada mempelajari ilmu faraidh, sebab ia hanya termasuk fardhu kifayah saja. Adapun ilmu pengetahuan ini dapat lebih mengenal Allah, karena itu ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mampu.”

            Nampaknya Jauhari silau dengan apa yang ia lakukan, ia berani mencela para mufassir terdahulu. Katanya, “Ilmu-ilmu yang kami masukkan ke dalam tafsir ini adalah ilmu yang dilalaikan oleh orang-orang bodoh yang tertipu, yaitu para fuqaha Islam yang kerdil. Kini adalah perubahan dan melahirkan fakta. Allah akan membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”

            Penulis tafsir ini telah mencampur adukkan barbagai kerancuan di dalam kitab tafsirnya. Ia memasukkan ke dalamnya gambar tumbuh-tumbuhan, binatang pemandangan alam dan berbagai eksperimen ilmiah, seakan-akan buku diktat tentang ilmu pengetahuan. Ia menerangkan hakikat-hakikat keagamaan seperti yang dilakukan oleh Plato dalam Republica-nya dan kelompok Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah mereka, memaparkan ilmu-ilmu pasti dan menafsirkan ayat berlandaskan pada teori-teori ilmiah modern.
            Menurut hemat kami, Thanthawi telah melakukan kesalahan besar terhadap tafsir dengan perbuatannya itu; ia mengira bahwa dirinya telah berbuat baik, padahal tafsir itu tidak diterima oleh banyak kalangan terpelajar, sebab ia memaksakan ayat kepada apa yang bukan maknanya. Oleh karena itu tafsir ini dianggap sama dengan yang Tafsir Ar-Razi. Orang-orang menyebutnya, “Di dalamnya terdapat segala hal kecuali tafsir itu sendiri.”

            2.       Tafsir Al-Manar
            Muhammad Abduh seorang yang telah merintis kebangkitan Ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini lahir dari kesadaran Islami untuk memahami ajaran-ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin Al-Afaghani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas Al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari mahasiswanya.

            Rasyid Ridha salah satunya. Ia murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling bersemangat dan mencatatnya dengan teliti. Dapat dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal ilmu-ilmu Muhammad Abduh. Buah nyata akan hal ini tampak jelas dalam tafsirnya yang diberi nama tafsir Al-Quran Al-Hakim, tetapi popular dengan nama Tafsir Al-Manar, sesuai dengan nama majalah Al-Manar yang diterbitkannya.

            Ia memulai tafsirnya dari awal Al-Quran dan berakhir pada firman Allah, ..
            “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Allah, Tuhanku), Pencipta langit dan bumi, Engkaulah penolongku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.” (Yusuf: 101)

            Kemudian beliau meninggal sebelum sempat menyempurnakan penulisan tafsirnya. Bagian tafsir yang telah diselesaiakan ini dicetak dalam duabelas jilid berukuran besar.

            Tafsir Al-Manar adalah sebuah tafsir yang banyak mengangkat pendapat para ulama salaf, sahabat dan tabiin. Demikia juga banyak memuat tentang retorika bahasa Arab dan penjelasan tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan umat manusia. Ayat-ayat Al-Quran ditafsirkan dengan gaya bahasanya yang menarik, makna-maknanya diungkapkan dengan redaksi yang mudah dipahami, berbagai persoalan dikupas secara tuntas, tuduhan dan kesalahpahaman pihak musuh yang dituduhkan kepada Islam dibantah dengan tegas, penyakit-penyakit sosial diterapi dengan petunjuk Al-Quran. Rasyid Ridha menjelaskan bahwa tujuan utama tafsirnya untuk memahami kitab Allah sebagai sumber ajaran agama yang membimbing umat manusia ke arah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

            3.       Tafsir fi Zhilal Al-Quran
            Gerakan Islam Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Asy-Syahid Hasan Al-Banna, tanpa diragukan dipandang sebagai gerakan Islam terbesar masa kini, tidak seorang pun  dari lawan-lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran Islam di dunia Islam. Dengan gerakan ini segala potensi pemuda Islam dicurahkan untuk berkhidmad kepada Islam, menjujnjung syariatnya, meninggikan kalimatnya, membangun kejayaannya dan mengembalikan kekuasaannya. Apa pun yang dikatakan tentang berbagai peristiwa yang terjadi atas jamaah ini, tidak mengecilkan pengaruh intelektualitasnya.

            Diantara tokoh gerakan ini yang paling menonjol adalah seorang alim dan pemikir cemerlang yang sulit dicari bandingannya. Itulah Sayyid Quthb, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran-ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran yang sangat bermutu, terutama kitab tafsirnya: Fi Zhilal Al-Quran.

            Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinaran Al-Quran yang bijak, sebagaimana dapat dipahami dari penamaan terhadap kitabnya. Ia meresapi keindahan Al-Quran dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh baebagai paham dan aliran yang merusak, dan konflik berdarah yang tiada henti. Bagi situasi seperti ini menurutnya, tiada jalan keselamatan lain selain dengan Islam. Dalam pendahuluan tafsirnya ia mengatakan,”Telah saya rasakan masa kehidupan di bawah naungan Al-Quran hingga sampai pada keyakinan pasti... bahwa tidak akan ada kebaikan bagi umat ini, tidak ada ketenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketentraman bagi umat manusia, tidak ada kemajuan, keberkatan dan kesucian, juga tidak ada keharmonisan dengan hukum-hukum alam dan fitrah kehidupan... Kecuali dengan kembali kepada Allah.

            Kembali kepada Allah, sebagaimana tampak di bawah naungan Al-Quran, hanya mempunyai satu bentuk dan satu jalan... Hanya satu tanpa yang lain.. Artinya mengembalikan segala persoalan hidup kepada sistem Allah yang telah digariskan bagi umat manusia di dalam kitab-Nya yang mulia. Yaitu dengan cara berhukum, berpedoman, dan mengikuti kitab-kitab-Nya. Jika tidak, maka itu berarti kerusakan di muka bumi, kesengsaraan bagi umat manusia, kemunduran ke dalam lumpur dan budaya jahiliyah yang menyembah nafsu, bukan menyembah Allah,
            “Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka belaka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”(Al-Qashash: 50)

            Berhukum kepada sistem atau undang-undang Allah dalam kitab-Nya bukanlah perbuatan sunnah, sukarela ataupun pilihan, tetapi itu adalah sebuah keimanan... bagaimana tidak?:
            “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan ( yang lain) tentang urusan mereka.”(Al-Ahzab:36)
            “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (aturan) dalam masalah agama itu. Maka ikutilah  syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengerti. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat sedikit pun menyelamatkanmu dari siksa Allah. Dan sesungguhnya orang dzalim itu sebagiannya menjadi penolong bagi sebagiannya, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.”(Al-Jatsiah: 18-19)

            Berangkat dari pandangan inilah Sayyid Quthb merumuskan metodologi dalam penulisan tafsirnya. Pertama-tama ia sodorkan satu “payung” dalam mukaddimah setiap surat untuk mempertautkan antara bagian-bagiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya. Sesudah itu barulah ia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan riwayat-riwayat yang shahih, lalu mengemukakan sebuah paragraf tentang kajian-kajian kebahasaan secara singkat. Kemudian ia beralih ke soal lain, yaitu memberikan motivasi, membangkitkan kesadaran, meluruskan pemahaman dan mengaitkan Islam dengan kehidupan.

            Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari kalangan terpelajar. Memang, kitab ini merupakan kekayaan intelektual, dan sosial yang perlu dibaca oleh setiap Muslim masa kini.

            4.       At-Tafsir Al-Bayani li Al-Quran Al-Karim
            Diantara kaum wanita kita kontemporer yang ikut ambil bagian dalam kesusastraan Arab dan pemikiran sosial adalah Aisyah Abdurrahman, popular dengan nama Bintu Syathi’. Ia adalah pengajar pada fakultas Adab di Kairo dan pada fakultas Tarbiyah Putri di Al Azhar. Di tengah-tengah kesibukan mengajarnya ia sempat menulis tafsir beberapa surat pendek, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang diberi tajuk At-Tafsir Al-Bayan li Al-Quran.

            Dalam tafsirnya, Bintu Syathi’ memusatkan perhatian pada kesusastraan Arab. Dalam pendahuluannya ia mengemukakan bahwa ia menempuh metode ini untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan, sastra dan bahasa. Dikatakannya pula bahwa ia pernah menyampaikan kajian seperti ini di berbagai konggres internasional. Misalnya dalam Konggres orientalis Internasional di India 1964. Topik pembahasan yang disampaikannya dalam bagian studi Islam adalah Musykilat At-Taraduf fi Dhaui At-Tafsir Al-Bayani li Al-Quran Al –Karim(Problematika Kata-Kata Sinonim dalam Al-Quran, Perspektif Tafsir Al-Bayan). Katanya, dalam pembahasan tersebut dijelaskan, bagaimana hasil penelitian cermat terhadap kamus lafadz-lafadz Al-Quran dan dalalah(penunjukan makna)-nya di dalam konteksnya? Hasilnya mengungkapkan bahwa AlQuran menggunakan sebuah lafadz dengan dalalah tertentu, yang tidak mungkin dapat diganti dengan lafadz lainnya yang juga mempunyai makna sama seperti diterangkan oleh berbagai kamus dan kitab-kitab tafsir, baik jumlah lafadz yang dikatakan sebagai mutaradif(sinonim) itu sedikit ataupun banyak.

            Bintu Syathi’ mengkritik kesibukan mempelajari sastra dengan metode mu’allaqat, polemik, khamariyat dan hamasiyat, tanpa merujuk pada Al-Quran. Ia berkata, “Kita di Universitas meninggalkan khasanah yang bernilai(Al-Quran) dalam pengkajian tafsir. Amat sedikit diantara kita yang berusaha mentransformasikan AlQuran ke bidang studi sastra murni yang biasanya kita batasi hanya dengan hanya diwan-diwan syair dan prosa para pujangga.”

            Bagi Bintu Syathi’, tafsir bayani(sastra) bukanlah suatu usaha yang dilarang untuk merealisasikan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini beliau banyak berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang konsen terhadap aspek-aspek balaghah Al-Quran.
            »»  READMORE...

            Kamis, 22 September 2011

            2. Bolehkah mengambil upah mengajar al-Quran dan ilmu agama?

            <lanjutan Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama (Tafsir Al Baqarah 2: 159-160)>
            Dengan berlandaskan ayat “ Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan...dst.” itu, Ulama berpendapat, bahwa sesunguhnya tidak boleh mengambil upah mengajar al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya, karena ayat ini menyuruh(kaum Muslimin) meyiarkan ilmu dan melarang menyyembunyikannya, sedang seorang tidak berhak atas upah suatu pekerjaan yang menjadi kewajibannya (bebannya), sebagaimana tidak berhaknya atas upah bagi seseorang yang mengerjakan shalat, karena shalat itu suatu amalan qurbah(pendekatan diri kepada Allah) dan sekaligus ibadah, oleh karena itu haram mengambil upah mengajar shalat.

            Hanya ulama mutaakhirin setelah melihat kelengahan manusia dan hilangnya perhatian mereka terhadap pendidikan agama dan kemudian kecenderungannya yang lebih besar kepada masalah-masalah kehidupan duniawi, berakibat juga tidak adanya perhatian untuk mempelajari Kitabullah- al-Quranul Karim dan seluruh ilmu agama- maka praktis  tiadalah pemelihara-pemelihara al-Quran dan dikesampingkanlah pelbagai ilmu. Karen afaktor-faktor inilah maka mereka (ulama mutaakhirin) memperkenankan mengambil upah(pengajar al-Quran dan pelajaran-pelajaran agama lainnya), bahkan sebagian mereka berpendapat, bahwa upah itu wajib diberikan kepada para pemelihara ilmu-ilmu agama. Tidaklah wakaf-wakaf itu diberikan hanyalah untuk maksud-maksud memelihara al-Quran dan ilmu-ilmu agama, yang merupakan sarana nagi terpeliharanya al-Quran sebagaimana difirmankan Allah, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya..” (QS. Al-Hijr/15:9). Hanya kami mendapatkan ulama mutaqaddimin dari kalangan fuqaha’, bahwa mereka sepakat atas haramnya mengambil upah mengajar ilmu-ilmu agama karena mengajar itu ibadah sedang mengambil upah ibadah itu  tidak boleh.

            Abu Bakar al-Jashaah berkata: Ayat tersebut ( QS 2:159-160) menunjukkan kewajiban menyampaikan ilmu dan larangan menyembunyikannya, itu berarti dilarang mengambil upah bagi pengajarnya, karena tidak ada hak memperoleh upah bagi orang yang menunaikan kewajibannya. Ketahuilah bahwa tidak berhak memperoleh upah bagi seorang atas amalan-amalannya dalam Islam sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga murah...”(QS. Al-Baqarah 2: 174), zahir ayat ini menunjukkan larang mengambil upah secara keseluruhan, karena firman Allah “ dan menjualnya dengan harga murah” itu, melarang pengambilan ganti dari pelbagai seginya, karena “harga” itu menurut bahasa artinya “ganti”.1

            Fakhrur Razi berkata: ulama beralasan dengan ayat ini atas tidak bolehnya mengambi upah mengajar, karena yat ini menunjukkan wajibnya mengajar, maka pengambil upah berarti pengmbil upah atas penunaian kewajiban, sedang yang demikian itu tidak boleh, sebab firman Allah “dan menjualnya dengan harga yang murah” itu, melarang mengambil ganti atas pengajarnnya dalam segala seginya. 2

            Aku (as-Shabuni) berpendapat, bahwa pandangan secara fiqih yang halus ini mengangkat derajat ilmu ke derajat ibadah, maka pandangan semacam ini patut diperhatikan. Namun ilmu-ilmu syariat hampir saja tak memperoleh perhatian kendati fatwa ulama mutaakhirin tentang bolehnya mengambil upah mengajar itu telah diambilnya. Apalagi kalau kita mengambil pandangan ulama mutaqaddimin yang melarang pengambilan pelbagai macam upah(mengajar)? Dengan begitu maka tidak akan ada lagi orang yang mengajarkan (ilmu-ilmu agama dsb) dan yang belajar. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

             Kesimpulan
            1.       Bahwa kaum Yahudi dan Nasrani menyembunyikan sifat-sifat Nabi saw. (dalam Taurat dan Injil) untuk menghalang-halangi manusia beriman kepadanya.
            2.       Bahwa barangsiapa menyembunyikan ilmu itu mengkhianati amanah yang dibebankan Allah di atas pundak para ulama
            3.       Bahwa menyiarkan ilmu dan menyampaikannya kepada umat manusia agar petunjuk Ilahi menjadi merata adalah wajib.
            4.       Bahwa barangsiapa menyembunyikan iolmu tentang hukum-hukum Agama akan dilaknat oleh Allah dan siapa saja yang bisa melakanat.
            5.       Bahwa tobat yang diterima tidaklah cukup hanya mohon ampunan saja, tapi harus dilanjutkan dengan memperbaiki perbuatan dan ikhlas dalam beramal.

            Hikmatut tasyri’
            Syariat-syariat amawi telah datang untuk memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya. Sedangkan Islam menyuruh kita mengajar orang-orang yang tidak mengerti, menunjukkan mereka yang dalam kesesatan  dan mengajak kepada (agama) Allah, sehingga kelak di hadapan Allah di hari kiamat tak ada lagi alasan bagi seseorang(untuk mengelak karena belum menerima dakwah).

            Oleh karena apa saja yang diturunkan Allah SWT itu berisi petunjuk dan penerangan yang tiada lain hanya untuk kebaikan manusia dan memberi petunjuk mereka ke jalan yang lurus, sedang menyembunyikan ilmu dan tidak menyampikannya kepada manusia adalah berarti menghalang-halangi misi risalah, dimana Allah SWT mengutus para Rasul dan nabi adalah semata-mata untuk maksud-maksud tersebut, dan juga merupakan pengkhianatan atas amanat yang dipikulkan oleh Allah di atas pundak para ulama. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi  kitab (yaitu) ‘hendaklah kamu menerangkannya (isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya’..(QS Ali Imran 3:187), maka Allah sangat ingkar kepada orang yang menyembunyikan sesuatu yang dihajatkan oleh orang banyak, terutama urusan agama, serta memberikan ancaman siksa yang pedih bagi siapa saja yang menyembunyikan hukum-hukum-Nya, karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar yang pelakunya berhak mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah.

            Dengan demikian jelaslah kiranya, bahwa Islam adalah agama yang memberikan dorongan besar untuk tersebarnya ilmu dan kebudayaan yaitu dengan menyampaikan dakwah kepada umat manusia dan memerangi kebodohan dan kesesatan, maka Islam menilai, bahwa menyiarkan ilmu adalah termasuk ibadah dan menyembunyikannya adalah berdosa. Rasulullah saw bersabda:
            “Sampaikanlah apa saja dariku walaupun hanya seayat” dan ia bersabda (lagi), “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya maka ia akan diberi kendali pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka.”

            »»  READMORE...

            Some Important Expression in Daily Life

            -    I’m hungry! Aku lapar
            -    I’m sturving ! Aku sangat kelaparan/lapar
            -    I’m thirsty! Aku haus
            -    I’m full !  aku kenyang
            -    I’m belly full ! aku kekenyangan        I’ll be right back
            -    Excuse me! I want to wash my hand! Permisi saya mau ke belakang
            o    Excuse me, I want to go behind x —salah!
            -    I’ve just got up from my bed!—aku baru bangun tidur
            -    Any question so far? Sejauh ini
            o    Nothing
            -    Do you get it? – anda paham?
            o    Yes I get it
            -    Do you got it?(USA)
            o    Yes, I got it
            -    What are you looking at?—apa yang sedang kau lihat?
            -    Just small talk--- hanya basa-basi…
            -    Don’t take too long
            -    Don’t take long time     Jangan lama2 dong!

            * Take it easy = nyantai aja..
            * It’s far away = jauh sekali
            * You are the best thing that happen in my life
            * May I take your time for moment?

            10th sept’03
            Expression
            -    I go a head!
            -    I’m leaving!
            -    I gotta go!(USA style)
            -    I must go now            aku pergi duluan, ya!
            -    I’m off
            -    I must be off
            -    I go first—x—salah!

            -    Where do you live?--permanen
            o    I live in Cilacap            di mana kau tinggal?
            -    Where are you living?--sementara
            o    I am living in Nusantara dormitory Pare
            -    Hurry up! cepetan
            -    Sorry, I’m in hurry! – maaf, saya terburu
            -    Don’t be hurry! Jangan terburu-buru
            -    Don’t cover my sight! Jangan halangi pandanganku
            -    After you! Aku duluan (makan)
            -    Go away ; enyah kau!
            -    Make line---antri
            -    It’s better for you
            -    Come forward! Maju ke depan
            -    You didn’t remind me yesterday?mengingatkan  --- remember=ingat
            -    Drilling dance : goyang ngebor
            -    No buts = tdk tapi2an
            -    I cut my finger = jariku teriris
            -    Take it on leave it = jadi nggak?(orang jualan)
            -    Where is he?---- Where izi?
            -    Where is she? ---Where ishi?
            -    Being with you is the best moment in my life. – bersamamu adalah saat terindah dalam hidupku
            -    How to say in English…(pasar)..?
            -    Pinch your friend! Cubit teman Anda



            »»  READMORE...

            Minggu, 18 September 2011

            Jenis Riba dan Barang Ribawi

            Jenis Riba

            Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok yang ke dua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
            1.       Riba Qardh
            Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)

            2.       Riba Jahiliyah
            Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

            3.       Riba Fadhl
            Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

            4.       Riba Nasi’ah
            Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

            Mengenai pembagian dan jenis riba, berkata Ibnu Hajar al-Haitsami,
            “Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadhl, riba al-yadh, dan riba an-nasi’ah. Al-Mutawally menambahakn jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits nabi.”*

            Jenis Barang Ribawi
            Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
            1.       Emas, perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
            2.       Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
            Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
            1.       Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,- dengan Rp 5.000,- dan diserahkan ketika tukar menukar.

            2.       Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp 5.000,- dengan 1 dollar Amerika.

            3.       Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.

            4.       Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
            »»  READMORE...

            Sabtu, 17 September 2011

            Definisi Riba

            <BANK SYARIAH DARI TEORI KE PRAKTIK><Muhammad Syafi’i Antonio>


            Riba (الربا) secara bahasa bermakna: ziyadah( زيادة --tambahan). Dalam pengertian lain, secara lingusitik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.1  Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.2 ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

            Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya,
            يايها الذين ءامنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
            “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil...”(an-Nisaa’: 29)

            Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Quran, menjelaskan,
            “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qurani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
            Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membeyar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dlam hal jual beli, si pembeli membeyar harga atas imabalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

            Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.3

            Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.

            Pengertian senada disampaikan jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Diantaranya sebagai berikut :
            1.       Badr ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
            “”Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

            2.       Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
            “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh(atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”

            3.       Raghib al-Asfahani
            “Riba adalah penambahan atas harta pokok”

            4.       Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafii
            Dari penjelasan Imam Nawawi sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al-Quran dan As-Sunah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

            5.       Qatadah
            “Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”

            6.       Zaid bin Aslam
            “Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata, ‘Bayar sekarang atau tambah’”

            7.       Mujahid
            “Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu”

            8.       Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syiah
            Ja’far as-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT menharamkan riba, “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.

            9.       Imam Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab Hambali
            Ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang riba, ia menjawab, :”Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jika tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.”7)



            »»  READMORE...

            Hukum Menyembunyikan Ilmu Agama (Tafsir Al Baqarah 2: 159-160)

            <Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni>
            Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilakanat;
            Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan mener angkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Akulah yang Maha menerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS al- Baqarah 2: 159-160)

            Sebab Turunnya

            Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ihwal Ahli Kitab tatkala mereka ditanya tentang apa yang ada dalam kitab mereka tentang kenabian Nabi Muhammad saw, yang ternyata mereka menyembunyikannya dan tak mau memberitakannya karena rasa dengki dan marah. Imam as-Sayuthi meriwayatkan dalam kitabnya, ad-Durrul Mantsur dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Mu’adz bin Jabal dan sebagian sahabat bertanya kepada segolongan Pendeta Yahudi tentang sebagian isi Taurat, kemudian mereka menyembunyikannya dan menolak untuk memberitakannya, kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Kami turunkan tentang keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk.78)

            Tafsirnya
            1.      
                 Firman Allah “dalam al-Kitab” itu, yang dimaksud yaitu kitab-kitab yang diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud yaitu Taurat dan Injil.
            2.       Firman Allah Ulaaika yal’anuhumullaahu (mereka itu dilaknati oleh Allah), dengan isyarah jauh, adalah untuk menunjukkan buruknya amal perbuatan mereka dan ukuran jauhnya kedurhakaan dan pengrusakan yang mereka lakukan.79)
            3.       Firman Allah wa yal’anuhumu al-laa’inuuna (dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang bisa melaknat) itu, adalah salah satu bentuk “badi” yang disebut “jinas mughayir”, yaitu dua kata dalam rangkaian satu jumlah, yang satu isim sedang yang lain fi’il.
            4.       Firman Allah “tawwab” dan “rahim” adalah bentuk mubalaghah, yang artinya “Dzat yang banyak menerima tobat hamba-Nya, lagi luas ampunan dan rahmat-Nya.”

            Kandungan Hukum
            1.       Apakah ayat ini khusus berkenaan dengan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani saja?
            Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan ihwal Ahli Kitab dari pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan sifat-sifat Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini, tetapi lebih luas ayat ini mengena kepada setiap orang yang menyembunyikan ayat-ayat Allah, yang menyembunyikan hukum-hukum agama, karena yang terpakai sebagaimana dikatakan oleh ulama ushul adalah keumumam lafalnya, bukan kekhususan sebabnya. Sedang ayat-ayat ini bersifat umum, menggunakan sighat isim maushul (al-ladzina yaktumuuna = mereka yang menyembunyikan). Oleh karena itu menunjukkan arti umum.
            Abu Hayyan berkata: Yang jelas, bahwa keumumam ayat ini tentang orang-orang yang menyembuyikan, tentang manusia dan tentang al-kitab, meskipun ayat ini diturunkan dengan sebab khusus, maka ia mengena kepada setiap orang yang menyembunyikan ilmu tentang Agama Allah, yang diperlukan untuk disebarkan dan disiarkan, ini ditafsirkan dari sabda Nabi saw:
            “Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka ia pada Hari Kiamat nanti akan dikendalikan dengan kendali dari api nereka.80)

            Sedang para Sahabat memahami ayat ini unutk arti umum, dan mereka orang-orang Arab yang fasih, yang menjadi pedoman umat dalam memahami al-Quranul karim sebagaimana dikatakan Abu Hurairah r.a. :
            “Kalau seandainya tidak ada sebuah ayat dari Kitab Allah, tentu aku tidak akan menyampaikan kepada kalian sebuah hadits pun, kemudian ia membaca firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk...dst.”

            »»  READMORE...

            Rabu, 14 September 2011

            Bagaimana Umat Islam Tertimpa Bencana?

            <PERANG UHUD>
             
            Kemenangan Umat Islam
            Allah menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin. Menepati janji-Nya kepada mereka, hingga mereka berhasil mengusir kaum Quraisy dari pasukan mereka. Kekalahan kaum Quraisy tidak diragukan lagi. Para wanita berlarian terbirit-birit.

            Bagaimana Umat Islam Tertimpa Bencana?
            Saat umat Islam dalam keadaan demikian, tiba-tiba pasukan musyrik melarikan diri dan mundur hingga ke tempat istri-istri mereka. Ketika pasukan panah menyaksikan hal itu, mereka segera turun mengejar pasukan kafir dengan penuh keyakinan telah memenangkan peperangan. Mereka berkata, “Wahai kaum! Lihat, itu harta rampasan! Harta rampasan!

            Komandan pasukan pemanah mengingatkan janji mereka kepada Rasulullah saw., tetapi mereka tidak mendengarkannya. Mereka mengira bahwa pasukan kaum Quraisy tidak mungkin kembali, sehingga mereka meninggalkan pertahanan pasukan garis belakang. Mereka terus mengejar para pemegang panji pasukan musyrik, sehingga tak tersisa satu orang pun dari mereka yang tersisa. Tiba-tiba pasukan musyrik datang menyerang dari belakang. Salah seorang berteriak: “Hai! Muhammad telah terbunuh!” Umat Islam pun kembali ke tempat semula. Ternyata, pasukan musyrik memutar haluan, memanfaatkan kesempatan dengan menyerang garis belakang paertahanan pasukan muslim yang kosong dari pengawalan.

            Hari itu adalah hari bencana dan ujian, musuh telah sampai ke tempat Rasulullah saw. Beliau terkena batu hingga mengeluarkan darah. Gigi gerahamnya juga terkena. Kepalanya luka, bbirnya luka, dan darah pun  mengalir di wajahnya. Lalu beliau mengusapnya dan barkata: “Bagaimana mungkin akan beruntung suatu kaum yang menodai wajah Nabi mereka, sedangkan ia mengajak mereka untuk kembali kepada Tuhannya!?”
            Umat Islam belum mengetahui tempat beliau. Ali bin Abi Thalib meraih tangan Rasulullah saw. Dan dipapah oleh Thalhah bin ‘Ubaidillah hingga dapat berdiri tegak. Malik bin Sinan menghisap darah dari wajah Rasulullah saw. Dan menelannya.

            Jadi, tidak ada pelarian musuh. Justru yang terjadi adalah perjalan memutar yang terpaksa oleh kejaran pasukan umat Islam, kemudian kembali ke tempat semula. Kehinaan dan bencana yang menimpa umat Islam, kerugian jiwa yang dialami, mati syahidnya orang-orang kaum muslimin serta menjadi pembela Rasulullah saw. Dan agamanya, adalah akibat kelalaian pasukan pemanah dan rapuhnya komitmen mereka terhadap ajaran-ajaran Rasulullah saw. Kelalaian mereka terhadap perintahnya hingga saat terakhir, serta pengosongan yang mereka lakukan terhadap garis yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw kepadanya. Firman Allah dalam Al Qur’an:
            “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji iman kamu; sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia ( Yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 152)
            »»  READMORE...

            Selasa, 13 September 2011

            Sifat Rahman dan Rahim Allah

            <Tanya Jawab Agama 1- Suara Muhammadiyah>

            Tanya : Bagaimana yang dimaksud dengan sifat RAHMAN dan RAHIM ALLAH SWT? ‘Kita melihat anak kecil terbakar, terkena penyakit berat, bahkan ada yang buta sejak kecil, bukankah itu siksaan? Bagaimana sebenarnya? (Thohrun, Jl. Kom. L Yos Sudarso, Gelunggur Kota No. 96 o/c Medan).

            Jawab : Pertanyaan Anda yang 32 jumlahnya hanya baru dijawab 2 saja dulu, memberi kesempatan kawan lainnya. Maaf dan terima kasih. Pertanyaan Anda di atas memang menjadi pertanyaan orang banyak, yang kalau dijawab secara luas akan memakan tempat. Baiklah kami jawab secara singkat. Allah menciptakan alam semesta atas Iradah-Nya dan Qadrat-Nya, bukan keliru dan sekedar main-main tetapi mempunyai misi (S. Al Anbiya ayat 16). Manusia akan dikembalikan kepada Allah untuk dimintai tanggung jawab amalnya(S. Al Mukminun ayat  115 dan S AdzDzariyat 56).

            Kesemuanya itu dan ayat-ayat yang lain, menunjukkan akan kekuasaan Allah sebagai khaliq dab manusia sebagai makhluk yang naif yang tiada kewajiban kecuali tunduk dan patuh menurut kemampuannya, dalam arti berbuat baik menurut kemampuannya dengan berusaha dengan penuh pengharapan kepada Allah sebagai realisasi keyakinan manusia akan kekuasaan Allah disamping menerima apa yang diberikan kepadanya. Yakin apa yang diberikan oleh Allah kepadanya setelah berusaha dan berdoa adalah termasuk Rahman dan Rahim dan takdir Allah juga.

            Perlu diketahui bahwa manusia harus mengetahui dan yakin bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang harus sekaligus berada dan berlaku bagi-Nya. Di antara sifat-sifat itu adalah Rahman dan Rahim dan sifat-sifat lain seperti tersebut dalam surat  Al Hasyar 22 dan 23. Lebih jauh dari itu bahwa pemberian Allah yang berupa kehidupan dan mati bagi manusia hanyalah suatu ujian untuk diambil nilai kebaikan dan keburukan manusia tentang sikap dan amalnya, dan itulah yang akan dinilai, bukan ketundukan secara fisik, tetapi dan sikap menyerah dan ridhanya terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya.

            Karena penyerahan manusia secara fisik itu pasti, seperti tersebut pada ayat 15 surat Ar Ra’ad. Hanya yang akan dinilai itu ketaatan dengan hati yang penuh penyerahan kepada-Nya.
            Apa yang menimpa manusia pada hakikatnya adlah manifestasi dan sifat Allah yang ditunjukkan pada manusia, yang dapat diterima sebagai rahmat sekaligus sebagai siksaan. Ada pula pemberian Allah yang berupa lahirnya kenikmatan tetapi di balik itu sebagai siksaan yang akan mendatangkan kesengsaraan. Sebaliknya ada yang lahirnya pemberian Allah sebagai penderitaan tetapi justru itu yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. Wal hasil kesemuanya yang dari Allah merupakan ujian, periksa ayat 15 dan 16 surat Al Fajr.

            Pemberian Allah kepada manusia kesemuanya merupakan kebijaksanaan Allah dalam rangka pelaksanaan Rahman dan Rahim Allah dan sifat-sifat yang lain untuk diterima dengan baik, dalam arti yang menyenangkan harus disyukuri dan yang menyusahkan harus dijadikan sarana peringatan un tuk lebih dapat meningkatkan perbuatannya lebih baik lagi, disamping sebagai dorongan untuk berusaha lebih baik dengan penuh kesabaran dan tawakal.

            Tawakal bukan berarti menyerah tetapi juga berusaha dan usaha yang didasarkan hati tawakal itu pula yang akan dinilai, yang kesemuanya itu dalam rangka arti beribadah dalam arti luasnya. Banyak hadits yang menjelaskan hal ini; antara lain riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, yang artinya, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sesunguhnya Allah telah berfirman: Kalau Kucoba hamba-Ku dengan membutakan kedua matanya pastilah ia bersabar, pastilah Aku ganti kedua matanya itu di surga”. Demikian termasuk Rahman dan Rahim Allah. 

            Dan barangkali kalau tidak Allah memberi penyakit pada manusia, belum juga ditemukan obat terhadap penyakit itu. Itu juga termasuk Rahman dan Rahim Allah bagi umat manusia, disamping Qadrat dan Iradat serta sifat Maha Kuasa dan Bijaksana-Nya. Bukan ditujukan perorangannya tetapi kepada umat manusia keseluruhannya. Di samping ada pula yang ditujukan kepada perorangan khusus bagi yang memohon untuk dikabulkan atau ditolak dalam rangka Rahman dan Rahim Allah. Allah-lah yang lebih tahu untuk kepentingan manusia, untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

            Barangkali kita dapat menyatakan orang tua yang tidak sayang pada anak kalau terhadapa anaknya yang masih belum cukup umur dibelikan kendaraan bermotor yang akan mendatangkan bahaya anak itu sendiri di jalan raya. Ini sekedar contoh.
            »»  READMORE...

            Buah dari Taqwa


                     Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan dapat memetik buahnya, baik di dunia maupun di akhirat. Buah itu antara lain :

            1.       Mendapatkan sifat furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan salah,    halal dan haram, serta terpuji dan tercela.
            “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al Anfal 8:29)

            2.       Mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi.
            “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mnedustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. “ (QS. Al A’raf 7:96)

            3.       Mendapatkan jalan keluar dari segala kesulitan.
            “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah nisacaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. “ (QS. At-Thalaq 65:2)

            4.       Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga
            “...dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq 65 : 3)

            5.       Mendapatkan kemudahan dalam segala urusannya.
            “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. “ (QS> At-Thalaq 65 : 4)

            6.       Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar.

            “ Hai orang- orang yang beriman, jika kamu kamu bertaqwa kepada Allah,niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. “(QS. Al-Anfal 8:29)

            “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahnnya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (QS. At-Thalaq 65:5)

            Lima buah pertama dirasakannya di dunia dan yang terakhir di akhirat. Semuanya merupakan wujud dari hasanah fi addunya dan hasanah fi al-Akhirah yang menjadi dambaan setiap insan mukmin.
            »»  READMORE...

            Senin, 12 September 2011

            Learning English: Speaking Lesson 2



            Pare, 9th sept’03
            -          Where do you come from? ---kota
            o   I come from Malang
            -          Where were you belong to? (USA Style)
            o   I was belong to Indonesia                            tanya asal?
            o   I was belong to Malang
            -          Where are you from?---Negara
            o   I’m from Indonesia/Amerika
            -          Where have you been?
            o   I have been from Batagor/Market
            -          Where are you going?
            o    I am going to Surabaya
            -          Where will you go?                                                         Mau pergi ke mana?
            o   I will go to market
            -          Where are you gonna go? (USA Style)
            o   I am gonna go to Pare
            -          When did you come?----- kapan kamu datang?
            o   I came this morning
            -          What are you doing? Lagi ngapain Lou?
            o   I’m eating now
                   Ving
            -          Opening the program
            o   Let’s open our program today by reciting basmalah together
            o   (or) Let’s pray to God together depend on our belief!
            -          Closing the program :
            o   Let’s close our program today by reciting hamdalah together
            o   (or) Let’s pray to God depend on our belief!
            Recite(v) : membaca(kitab)
            Read(v) : membaca(umum)




            * Take it easy = nyantai aja..
            * It’s far away = jauh sekali
            * You are the best thing that happen in my life
            * May I take your time for moment?
            »»  READMORE...

            Minggu, 11 September 2011

            Greeting and Introduction

            -         
                          Greet (v) : address(v) : menyapa
            -          Introduce : memperkenalkan, recognize(v) : kenal
                   

                      
                   Greetings atau ucapan salam yaitu ucapan yang digunakan untuk menyapa seseorang. Sedangkan introduction yaitu ungkapan perkenalan yang digunakan untuk memperkenalkan diri atau menanyakan identitas orang lain. Setelah mengucpakan salam atau sapaan biasanya dilanjutkan dengan menanyakan kabar orang yang disapa. 
                         Berikut beberapa ucapan salam dan perkenalan yang biasa digunakan sehari-hari :
                       
                                    o  Hi, hello
            o   Good morning
            o   Good afternoon
            o   Good evening                                                                                  
            o   Good night is only used for leaving in the evening or before going bed
            o   Good day(for Australia) = good afternoon


                       morning   : 00.00  - 12.00
                       afternoon : 12.00- 06.00 pm
                       evening    : 06.00 pm - 00.00
                               12 am
                             12 pm 
            And than you can introduce yourself and your original town- and say :
            o   First meeting :How do you do? --- the answer : How do you do ( apa kabarmu?)
            o   For the second meeting and next  for asking the condition just say :
            §  How are you? (ha wa ya?—informal)
            §  How are you doing? (USA style)                  gimana kabarmu?
            §  How’s life?
            The answer  :
            §  Good condition :
            ·         I’m fine, thank you and you?
            ·         I’m very well
            ·         Not so bad
            ·         A live and kicking (sehat wal afiat)---informal
            ·         I’m good
            §  Bad condition :
            ·         I’m bad
            ·         Not so good
            ·         I’m rather sick
            ·         I’m terrible
            -         
            Impolite to ask :
            o   Age
            o   Salary
            o   Religion
            o   Politics
            o   Marital status
            And than you can continue your chating-by asking some polite things, don’t  ever  try to ask some impolite things because they will run away
            -          Polite to ask :
            o   Weather
            o   Condition
            o   Scenery
            o   Hobby
            o   Music
            o   Sport
            o   Entertainment
            -          After that you can close close your conversation, and than say :
            o   For  the first meeting :
            §  Nice to meet you (senang berjumpa dengan Anda)
            §  The answer : nice to meet you too
            o   For the second meeting & next :
            §  Nice to see you
            §  I’m glad to see you
            §   
            -          You can give addition :
            o   See you tomorrow (sampai jumpa besok)
            o   See you soon (sampai ketemu segera)
            o   See you later (sampai ketemu nanti)
            o   See you tonight (sampai ketemu nanti malam)
            o   See you around (USA)
            o   Good bye
            o   Bye
            o   Bye-bye
            o   Cherio




            »»  READMORE...

            Pengikut